JAKARTA, RADAR SULBAR – Tanah menjadi kebutuhan primer bagi semua orang. Salah satu elemen Bumi ini menjadi penopang kebutuhan papan untuk didirikannya bangunan yang dijadikan sebagai tempat tinggal, gedung kantor, lahan produksi pertanian, serta infrastruktur lain yang menyangga pemajuan kesejahteraan.
Adanya tata kelola tanah di suatu wilayah menjadikan pembangunan di daerah itu bisa berjalan dengan teratur. Secara definitif, tata guna tanah yakni pengaturan atau perencanaan fungsi tanah, serta lahan secara rasional dan efektif, sehingga dapat tercipta keteraturan dalam pengelolaannya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, penyelenggaraan pengelolaan ini berasaskan untuk keterpaduan, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan, serta perlindungan hukum.
Secara umum, tujuan dari tata guna tanah yakni mengatur penguasaan dan pemanfaatan, baik oleh negara, swasta, maupun perorangan sehingga dapat digunakan untuk pemajuan kesejahteraan bersama.
Melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Pemerintah mewujudkan tata kelola tanah berkelanjutan untuk pembangunan dan pemajuan ekonomi masyarakat.
Kebijakan pemungkas yang diusung dalam mewujudkan tata guna tanah berkelanjutan, yakni melalui program konsolidasi tanah bagi masyarakat serta pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL),
Kedua program itu dinilai praktis dan terbukti berhasil memberikan kontribusi nyata, baik dari sisi penambahan devisa negara maupun pemajuan kesejahteraan melalui peningkatan harga jual tanah serta pendayagunaan tanah sehingga lebih produktif.
Konsolidasi tanah
Konsolidasi tanah merupakan kebijakan tata guna tanah yang masuk dalam program Reforma Agraria, serta disusun oleh Kementerian ATR/BPN guna mewujudkan pemanfaatan lahan yang lebih optimal.
Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 12 Tahun 2019 tentang Konsolidasi Tanah menyatakan, kebijakan ini bertujuan untuk melakukan penataan dan pemanfaatan tanah sesuai rencana tata ruang untuk kepentingan umum, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Bukti adanya peningkatan kesejahteraan melalui program ini dialami oleh masyarakat Kampung Cikadu II, Desa Gasol, Kecamatan Cugenang, Cianjur, Jawa Barat yang pada 2022 terporak-poranda akibat gempa 5,6 magnitudo.
Desa yang memiliki luas 58.316 hektar itu telah dilakukan penataan ulang melalui kebijakan konsolidasi tanah sehingga menjadi layak, aman, serta memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi.
Para warga, secara sukarela dan atas kesepakatan bersama, merelakan sebagian tanahnya untuk dikelola oleh Pemerintah supaya dibangun fasilitas umum mulai dari tempat ibadah, rumah rembuk warga, tata energi listrik, aksesibilitas jalan, serta irigasi lahan pertanian.
Masyarakat desa itu mengakui, sejak kebijakan ini diterapkan, mereka mudah untuk berpergian karena akses jalan sudah lebih baik, produksi lahan pertanian menjadi lebih optimal karena saluran irigasi permanen, serta adanya peningkatan harga jual tanah yang pada awalnya Rp200 ribu per meter persegi, kini menjadi Rp500 ribu per meter persegi.
Selain Desa Gasol, peningkatan kesejahteraan juga dirasakan masyarakat di Kelurahan Tebing Tinggi Okura, Kecamatan Rumbai Timur, Kota Pekanbaru, Riau.
Saat kunjungan kerja Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono, kerap disapa AHY pada akhir Mei 2024, masyarakat di sana menuturkan sebelum dilakukan konsolidasi tanah, daerah tempat tinggal mereka sering terkena banjir karena luapan aliran Sungai Siak.
Namun, melalui konsolidasi tanah yang dilakukan di 76 bidang tanah seluas 54,54 hektare, kini daerah itu sudah tidak terkena banjir serta ada peningkatan harga jual tanah hingga dua kali lipat.
Tanah sistematis lengkap
Program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL), merupakan salah satu pilar dalam mewujudkan tata guna tanah yang baik. Kebijakan ini berupa kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi semua obyek pendaftaran tanah yang belum terdaftar.
Singkatnya, PTSL merupakan pendataan bidang tanah yang dimiliki masyarakat, pemerintah daerah, maupun swasta yang bertujuan untuk memberikan jaminan hukum hak atas tanah.
Menteri AHY menuturkan selain memberikan kepastian hukum melalui sertifikasi, program ini juga secara langsung meningkatkan devisa melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Hal ini karena tanah yang terdaftar dikenakan wajib pajak serta hasil dari pungutan itu digunakan untuk pemajuan kesejahteraan bersama.
Dari PTSL ini juga Pemerintah bisa membuat skema tata guna tanah yang efektif untuk peruntukannya dalam mewujudkan Reforma Agraria. Para pemangku kebijakan bisa menilai kontur dan efektivitas lahan, sehingga pemanfaatan tanah tersebut bisa lebih optimal.
Merujuk catatan Kementerian ATR/BPN, sejak program ini diluncurkan pada tahun 2017 hingga 22 Juni 2024, sudah ada 113,5 juta bidang tanah yang terdaftar di PTSL,
sedangkan secara kumulatif nilai ekonomi yang diberikan pada periode yang sama mencapai lebih dari Rp6.519 triliun.
Sementara itu sejak 21 Februari 2024 hingga Juni 2024, tercatat penerimaan negara melalui program PTSL yaitu sebesar Rp215,8 triliun. Angka itu didapat melalui Pajak Penghasilan (PPh), Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB), Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan Nilai Hak Tanggungan (HT) dari 2,4 juta bidang tanah baru yang terdaftar.
Artinya jika dirata-rata setiap 1 juta bidang tanah yang terdata di program PTSL, bisa menyumbang terhadap devisa PBNP Indonesia sebesar Rp60-100 triliun.
Oleh karena itu semakin banyak tanah yang tercatat dalam PTSL, kian tinggi pula rasio Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sehingga apabila secara berkelanjutan bisa mewujudkan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat hingga 13.000 dolar AS di tahun 2045.
Melihat besarnya penerimaan negara melalui program ini, Pemerintah menargetkan untuk bisa merealisasikan PTSL pada tahun 2024 sebanyak 120 juta bidang tanah, lalu naik menjadi 126 juta bidang tanah pada tahun 2025.
Guna mengakselerasi capaian pendaftaran tanah sistematis lengkap ini, Kementerian ATR/BPN meminta kepada pemerintah daerah untuk memberikan keringanan bagi masyarakat dengan membebaskan BPHTB pada program pendaftaran tanah pertama.
Saat ini, setidaknya sudah ada 121 kabupaten/kota yang telah memberikan keringanan ataupun membebaskan BPHTB, serta berkomitmen untuk menyosialisasikannya secara masif sehingga target PTSL bisa tercapai.
Penerapan konsolidasi tanah dan akselerasi PTSL merupakan wujud komitmen Pemerintah guna menghadirkan tata guna tanah berkelanjutan yang secara praktis bisa langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Hasilnya, setiap inci tanah yang ada di Indonesia bisa digunakan secara optimal untuk pemajuan kesejahteraan. (ant)