MEMBACA adalah prasyarat menulis, maka penulis hebat selalu punya akses yang memadai terhadap bacaan. Akses terhadap bacaan berkontribusi membentuk iklim sastra yang kondusif. Bakat dan pengalaman saja tidak cukup untuk membentuk penulis. Sebagai perbandingan, sulit berharap lahir juara kelas tanpa akses bacaan memadai bagi seluruh siswa. Bakat dan pengalaman siswa, dan peran guru saja belum cukup.
(Penulis: Dahri Dahlan, dosen sastra Universitas Mulawarman, lahir di Pambusuang)
Lalu sumber bacaan sudah tersedia banyak sekali. Di internet itu juga sangat melimpah. Dalam sekali duduk, kita bisa mengakses banyak sumber bacaan. Pada puncak keberlimpahan itu, sikap kita akhirnya berubah. Dibutuhkan seleksi dan prioritas. Jika tidak demikian, bisa jadi pengetahuan yang kita peroleh sekadarnya saja.
Produksi Buku
Memasuki tahun 2000an, muncul penerbit independen atau indie. Visi mereka melawanan hegemonipenerbit mayor. Mayor di sini berarti berlaba besar. Penerbit indie berusaha melawan dominasi wacana yang membentuk selera publik yang seragam. Hal lainnya adalah soal kapital itu sendiri. Dari hulu sampai ke hilir, para raksasa penerbitan ini dianggap mendominasi perbukuan di Indonesia. Harus ada alternatif.
Mereka sering juga disebut penerbit alternatif atau mandiri. Perbedaan mereka dengan penerbit mayor adalah soal ideologi. Mereka tetap menyeleksi naskah dan jenis buku, tetapi tidak memprioritaskan laba besar. Penyeleksian mereka juga spesifik dan khas, misalnya Penerbit Circa yang cenderung ke tema filsafat. Gayung bersambut, kemunculan penerbit jenis ini juga dipengaruhi teknologi. Mudahnya mencetak buku dengan jumlah terbatas turut mendukung penerbitan indie. Saat ini buku bisa dicetak berdasarkan jumlah pemesan.
Keberadaan mereka berpengaruh cukup signifikan. Lima buku terbaik 2016 versi Rolling Stone Indonesia, empat di antaranya terbitan penerbit bukan big three Gramedia-Gagas Media-Mizan. Dua di antaranya buku terbitan Buku Mojok: Endorphin dan Bakat Menggonggong. Lalu daftar panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2017. Buku Mojok masuk lewat Bakat Menggonggong,” (keterangan Prima Sulistya di kumparan.com).
Akhirnya bukan lagi soal mayor atau minor. Hal yang paling utama adalah “bagaimana buku diterbitkan.” Untuk menyebut beberapa, Buku Mojok, Marjin Kiri, Circa, Pojok Cerpen, Terokapress, Basabasi, dsb., adalah penerbit jalur independen. Tetapi mereka selektif dalam memilih naskah. Mereka punya tim yang profesional. Bahkan Marjin Kiri misalnya, mereka terang tidak menerima naskah, tetapi mereka mencarinya. Karena idealisme dan standar mutu tertentu, lembaga penerbitan semacam ini menjadi lebih eksklusif.
Nama lain, Penerbit Terokapress, buku terbaru yang diterbitkan adalah buku antologi puisi Pemenang Sayembara Manuskrip DKJ 2023. Empat buku sebelumnya memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa, Penghargaan Sastra Kemendikbudristek, dan dua untuk Buku Sastra Pilihan Tempo. Misi penerbitan indie semacam ini sudah mencapai tahapan tertentu dan mempengaruhi lanskap sastra di Indonesia.
Mutu Sastra
Perubahan sistem perbukuan seperti ini juga menyisakan masalah. Mudahnya mengakses percetakan dan mengurus penerbitan, membuat produksi buku kian marak. Kualitas buku akhirnya tidak terkontrol. Ini berimbas terhadap perkembangan sastra akhir-akhir ini. Sekarang jauh lebih mudah menerbitkan buku puisi dari pada dimuat di koran hari minggu atau bersaing di media daring. Muncullah banyak “sastrawan” hanya karena mereka punya buku. Hanya butuh memenuhi syarat administratif, tanpa kontrol-seleksi, terbitlah buku jalur self publishing dan vanity publishing.
Sunlie Thomas Alexander dalam sebuah tulisannya perihal topik ini menegaskan, wajarlah kemudian jika mereka (penerbit) pun akhirnya dicari oleh para penulis instan sebagai jalan pintas untuk mendapatkan legitimasi, baik sebagai penulis maupun sastrawan (sastra-indonesia.com). Buku-buku mereka ini menjamur, lalu diakses tanpa kritikus di dalam masyarakat yang literasinya masih rendah.
Self publishing bisa dijelaskan sebagai “menerbitkan sendiri”. Dari pembiayaan sampai pemasaran, secara prinsip dilakukan sendiri oleh penulis. Jenis lainnya, vanity publishing, penulis membayar penerbit untuk penerbitan dan terkadang pemasaran. Bisa jadi penerbitan jenis ini memang ditempuh karena sulitnya berkompetisi di jalur penerbit mayor dan indie. Ini relevan dengan pernyataan Sunlie di atas, dan menjadi kecenderungan saat ini. Untuk mencapai sebuah mutu karya, sama sekali tidak bisa diukur dari “terbit”, tetapi harus dikembalikan ke isi buku dengan lapisan-lapisan kualitasnya.
Universitas dan lembaga negara lainnya juga berperan dalam memperbanyak buku tidak bermutu. Syarat kenaikan pangkat bukan soal mutu, tetapi bukunya jelas ada. Harus selalu diingat, tidak serta merta penerbit mayor selalu menghasilkan buku bermutu. Hal yang menegaskan keberadaan penerbit mayor, selain soal kualitas, sering sekali semata karena kuantitas, larisnya.
Sebenarnya penerbitan jalur self-vanity publishing bisa lebih baik jika naskahnya telah melewati kompetisi. Kompetisi bisa berupa sayembara sastra atau pemuatan di media dengan kredibilitas tertentu. Jika oleh penulisnya sendiri karyanya dianggap layak, rasanya akan lengkap jika telah diterima penerbit/media dengan alasan yang sama. Bourdieu telah menegaskan, sastrawan butuh legitimasi semacam ini.
Penyebaran buku yang sangat terbatas, juga menjadi soal. Tak ayal, hanya pembaca yang ada dalam pertemanan penulis yang bisa mengakses buku self-vanity publishing. Sedangkan penerbit indie, Selain menjangkau banyak agen penjualan dan toko buku yang solid, mereka juga memiliki pembaca yang militan dengan jumlah yang bisa diperhitungkan. Inilah perbedaan penerbit indie dengan self-vanity publishing.
Jika karya ditolak juri/redaktur, itu seperti pemberian keistimewaan kepada penulis untuk mengevaluasi diri dan belajar. Penulis akan menambah lanskap bacaan, dan akhirnya membuka diri di cakrawala yang lebih luas, tidak narsis nan anti-kritik. Bukankah yang demikian itu baik untuk iklim sastra kita?