Lembaga Sensor Film: Budayakan Menonton Sesuai Usia

  • Bagikan
PEMAPARAN : Lembaga Sensor Film (LSF) menyelenggarakan sosialisasi budaya sensor mandiri di Hotel Ratih Polewali, Kamis 13 Juni 2024.

POLEWALI RADAR SULBAR – Lembaga Sensor Film (LSF) menyelenggarakan sosialisasi budaya sensor mandiri dengan tajuk “Memajukan Budaya Menonton Sesuai Usia” di Hotel Ratih Polewali, Kamis 13 Juni 2024

Ketua LSF RI, Rommy Febri Herianto mengatakan tujuan sosialisasi ini agar masyarakat mengetahui dan mampu memilih serta memilah tontonan sesuai dengan kategori usia. Sehingga pihaknya mendatangi sejumlah kota di Indonesia melakukan sosialisasi budaya sensor mandiri dengan bekerjasama perguruan tinggi. Termasuk di Polewali Mandar bekerjasama dengan Universitas Al Asyariah Mandar (Unasman) melakukan sosialisasi budaya sensor mandiri.

Menurut Rommy, budaya sensor mandiri sebagai program prioritas nasional untuk meningkatkan kualitas literasi tontonan masyarakat sesuai klasifikasi usia penonton.
Hal itu menjadi fokus LSF dalam melakukan sosialisasi untuk mengajak masyarakat menjadikan menonton sebagai budaya dalam memilih tontonan.

“Oleh sebab itu, tema yang diangkat dalam sosialisasi ini adalah memajukan budaya, menonton sesuai usia,” jelas Rommy.

Kepala LSF RI, menambahkan permasalahannya saat ini, di tengah kemajuan digitalisasi yang begitu pesat, LSF tak mampu menyensor seluruh tayangan film. Terutama yang tayang di berbagai kanal platform streaming Over The Top (OTT).

“Jadi secara mandiri kita harus bisa memfilterisasi film yang ingin kita tonton. Termasuk kepada anak-anak kita. Misal, kalau judulnya Anak Santri, berarti boleh untuk semua usia,” terangnya.

Rektor Unsulbar, Chuduriah Sahabuddin mengapresiasi LSF RI yang menjalin kerjasama dengan Unasman dalam mensosialisasikan budaya sensor mandiri.

“Kolaborasi antara Unasman dan LSF ini bukti perguruan tinggi ikut memberikan perhatian ke dunia sineas di daerah ini termasuk mendorong sensor mandiri. Sebagai institusi pendidikan kami sangat mendukung LSF dalam upaya sosialisasi gerakan nasional sensor mandiri,” tambahnya.

Sosialisasi sensor mandiri ini dihadiri oleh perwakilan OPD Pemkab Polman, perwakilan sekolah menengah atas, tokoh masyarakat, pengiat film dan media.

Dalam sosialisasi ini, LSF menghadirkan tiga narasumber diantaranya Ngayadi Sumono Ketua Komisi Organisasi Asosiasi televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulbar Mithhar Thaha Ali dan Ketua Subkomisi Bidang Dialog LSF RI, Noorca M Massardi.

Menurut Ngayadi Sumono suksesnya gerakan budaya sensor mandiri untuk meningkatkan literasi media dan digital masyarakat memerlukan dukungan dan intensi kuat dari setiap regulator baik LSF, KPI, BPOM, Kemendikbud termasuk produsen film, serta seluruh pemangku kepentingan lainnya.

“Masyarakat sebagai mata rantai terakhir dari ekosistem industri media diharapkan memiliki kesadaran untuk melakukan sensor mandiri dengan memilih dan memilah konten yang dikonsumsi sesuai kaidah hukum, moral, etika, dan budaya yang hidup dalam masyarakat,” tandasnya.

Sementara Kadisdibud Sulbar, Mithhar Thaha Ali menurutnya sensor film selalu menjadi topik yang kontroversial, terutama ketika berbenturan dengan nilai-nilai budaya lokal. Di Sulbar, di mana keberagaman budaya dan tradisi sangat kaya, sensor film memainkan peran penting dalam menjaga kelestarian nilai-nilai tersebut.

“Namun, dengan berkembangnya teknologi dan akses digital, tantangan baru muncul dalam mempertahankan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan pelestarian budaya lokal. Sensor film bertugas untuk memastikan bahwa konten yang ditayangkan sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika yang berlaku di masyarakat. Selain itu, penting untuk mempromosikan produksi film lokal yang mencerminkan nilai-nilai budaya,” tambahnya.

Sementara Ketua Subkomisi Bidang Dialog LSF RI, Noorca M Massardi memaparkan sistem penyensoran dan filtrasi konten perfilman di era media digital. Ia menjelaskan LSF memiliki beberapa tugas dan kewenangan, antara lain penyensoran yakni meneliti, menilai, dan menentukan kelayakan serta klasifikasi usia penonton film; pemantauan, sosialisasi tentang LSF dan sensor mandiri.

Hal-hal sensitif pada film antara lain, kekerasan verbal dan nonverbal, perjudian, penggunaan narkoba, pornografi, perundungan, provokasi, sara, pelecehan, dan penodaan agama.

“Perlu adanya sensor film mandiri dan tontonan bagi anak. Peranan orang tua juga sangat penting dalam mengawasi penggunaan media sosial anak dan klasifikasi tontonan sesuai usianya,” tandasnya. (mkb/jaf)

  • Bagikan

Exit mobile version