MAMASA RADAR SULBAR — Penjabat (Pj) Bupati Mamasa, Dr Muhammad Zain, menandatangani prasasti tugu pahlawan Demmatande di taman pusat kota Mamasa, Senin 10 Juni 2024.
Pembangunan tugu Demmatande ini dilakukan sebagai upaya mewujudkan sebagai pahlawan nasional.
Kegiatan peresmian tugu Demmatande ini selain dihadiri Pj Bupati Mamasa juga Forkopimda, pimpinan OPD, tokoh agama dan masyarakat serta keluarga pahlawan Demmatande.
Pj Bupati Mamasa, Muhammad Zain dengan penuh semangat mengutip pernyataan Presiden Soekarno agar sekiranya sebagai anak bangsa tidak melupakan jasa-jasa para pahlawan.
“Semakin beradab (civiliazed) masyarakat, semakin kuat mereka memegang prinsip dan petuah-petuah pendahulunya,” ungkap Zain.
Baginya, Demmatande bukan sekedar pahlawan di Mamasa atau di Sulawesi. Tapi Demmatande sangat layak menjadi pahlawan nasional.
“Saya berharap, hikayat Demmatande nantinya bisa menjadi memori nusantara dan dikukuhkan menjadi pahlawan nasional,” pungkas Zain.
Dalam peresmian tugu tersebut, ditampilkan pula syair Pa’barani dan pembacaan hikayat Demmatande serta dilakukan pula penandatanganan prasasti Pahlawan Mamasa oleh Pj. Bupati Mamasa, Dr. Muhammad Zain.
Memori Perjuangan Demmatande
Bagi para bangsa penjajah, jazirah Sulawesi menjadi momok sebab selalu menjadi wilayah yang sulit ditaklukkan. Sebutlah bagaimana keluhan Speelman dalam memimpin pasukan VOC yang menurutnya hampir saja menderita kekalahan dalam perang Makassar yang menggetarkan hingga ke daratan Eropa.
Dua ratus tahun kemudian setelah perang Makassar, di bagian barat dan tengah pulau Sulawesi, masih berkecamuk perang tak berkesudahan. Perlawanan Ammana Wewang di wilayah pantai dan permusuhan Demmatande di wilayah pegunungan, begitu menguras biaya dan kekuatan militer Belanda.
Tahun 1907, pasukan Belanda mulai merangsek masuk ke daerah Pitu Ulunna Salu (Kabupaten Mamasa). Invasi yang dilakukan Belanda tidaklah berjalan mulus, sebab warga Mamasa melakukan perlawanan.
Perlawanan warga Mamasa, dalam bentuk perang fisik dengan menggunakan senjata sederhana dengan taktik tradisional. Sementara pasukan kolonial Belanda memakai persenjataan yang lebih modern dan taktik yang lebih maju.
Peperangan yang tidak berimbang membuat perlawanan rakyat Mamasa dapat diredam dan wilayah Mamasa sedikit demi sedikit dapat diduduki oleh tentara kolonial Belanda.
Meski perlawanan fisik sempat meredup pada sekitar tahun 1909, namun perjuangan tidak pernah benar-benar berhenti. Perlawanan masih terus berlangsung secara sporadis, namun gerak laju pendudukan Belanda tidak terhentikan.
Saat itu, seorang pemuda kelahiran tahun 1869 dari pasangan Bongga Masarin asal Tawalian dan Aruan Bulawan asal Paladan, Demmatande. Ia mulai resah dan muak dengan perilaku penjajah Belanda terhadap masyarakat dan keluarganya.
Pemuda yang bernama Demmatande tersebut lalu mengobarkan perlawanan dengan menggandeng para pemuka masyarakat lainnya. Praktis ada lima pemuka yang kemudian mengulurkan bantuan dan kerjasama dengan Demmatande, yaitu Demmajannang, Andola, Tandibali, Pua Sela dan Demmamusu. Keenam orang inilah yang bahu membahu melakukan perlawanan diseputar Pitu Ulunna Salu.
Menyadari bahwa perlawanannya pasti akan mendapat respon dari Belanda, pada tahun 1912. Demmatande membangun benteng sebagai pusat perlawanannya di Paladan, benteng yang kelak lebih dikenal sebagai Benteng Salu Banga.
Ketika tentara Belanda melakukan serangan ke Benteng Salu Banga pada tanggal 11 Agustus 1914, dipimpin oleh Komandan Detasemen Vraagan seorang perwira tentara Belanda. Pasukan Demmatande berhasil bertahan dan memukul mundur pasukan Belanda. Hal ini sebagaimana dilaporkan Y. Van Driil, (W.M. Manala, 1987).
Serangan kedua kemudian dilakukan pada 9 Oktober 1914 dengan persiapan yang lebih matang. Sebanyak 180 personil tentara Belanda, sebagian pasukan didatangkan dari Madjene dan Makassar dan dipimpin oleh Loys Coortes.
Meski serangan Belanda kedua ini lebih kuat lantaran adanya dukungan pasukan dengan jumlah yang lebih banyak dibanding pada serangan pertama, namun Demmatande dan pasukannya belumlah dapat ditaklukkan. Pasukan Belanda bisa dipukul mundur setelah pertempuran berlangsung beberapa hari.
Disusunlah kemudian rencana serangan ketiga. Setelah strategi dianggap matang, pada Tanggal 20 Oktober 1914, tentara Belanda kembali melancarkan serangan ke Benteng Salu Banga di bukit Paladan.
Serangan yang dilancarkan pada malam hari ini kemudian berlangsung beberapa hari, Demmatande dan pasukannya mati-matian mempertahan benteng Salu Banga. Hingga memasuki hari keempat, tepatnya 24 Oktober 1914 sebutir peluru berhasil menembus tubuh Demmatande. Ritme pertempuran kemudian menurun hingga benteng Salu Banga dinyatakan takluk kepada pasukan Belanda.
Pada hari itu, 30 pasukan Demmatande yang berada di dalam benteng, 24 orang diantaranya tertembak mati, termasuk Demmatande bersama istrinya dan salah seorang anak angkatnya yang bernama Tandi Gego yang saat itu masih berumur 10 tahun.
Meski Demmatande telah tiada dan benteng Salu Banga diduduki Belanda, namun perjuangan untuk merdeka belumlah berhenti. Teman- teman Demmatande melanjutkan berpencar melanjutkan perjuangan, salah satunya Demmajannang yang juga kemudian melakukan perang Puputan (bertempur hingga mati) melawan Belanda di benteng Burekkong Matangnga, Kabupaten Polman. (mkb)