Oleh: M Danial
TIDAK lama lagi puncak musim haji tahun 1445 H / 2024 M akan tiba. Sejak beberapa hari lalu sebagian besar jamaah haji Indonesia yang berjumlah 240 ribuan berangsur sudah berada di Tanah Suci. Mereka bersama dengan jutaan calon haji dari berbagai penjuru dunia merupakan hamba Allah Swt yang mendapat karunia berupa panggilan untuk melaksanakan ibadah haji.
Musim haji identik dengan pertambahan jumlah umat Islam Indonesia yang telah menunaikan ibadah rukun Islam kelima di Tanah Suci. Artinya makin banyak pribadi muslim yang menyandang gelar haji. Gelar tersebut merupakan penanda bahwa ia telah menyempurnakan lima rukun Islam.
Tak terhitung banyaknya doa yang berasal dari keluarga, kerabat, sahabat, dan sebagainya dilangitkan kepada jutaan jamaah haji setiap musim haji. Semua doa tersebut bermuara pada harapan agar mereka dikuatkan, diberi perlindungan, dan kelancaran melaksanakan ibadah haji. Selain itu ibadah hajinya diterima dan diganjar predikat haji mabrur. Menjadi sosok yang memiliki kualitas keimanan makin baik dari sebelumnya.
Merupakan tradisi jamaah haji sekembali ke Tanah Air membawa aneka macam ole-ole dari Tanah Suci. Tapi sejatinya yang sangat penting juga adalah perubahan sifat, karakter, dan perilaku sebagai pribadi muslim yang paripurna. Yang selalu menjadi contoh menjauhi perbuatan dosa. Perbuatan yang merugikan orang lain, mengambil yang bukan haknya, dan perbuatan tercela lainnya.
Sayangnya, gelar haji bagi sebagian orang tidak lebih dari sekedar formalitas. Yang seharusnya disadari sebagai beban moral untuk bersungguh-sungguh menjaga perilaku sebagai sosok haji selalu terukur dan bermanfaat bagi sesama. Dengan begitu gelar hajinya tidak ternoda.
Saya tetiba teringat cerita dongeng: Kucing Naik Haji.
Alkisah, seekor kucing yang baru pulang haji berikrar dirinya sudah bertobat. Tidak akan mengganggu sesama hewan. Ia pun berjanji tidak lagi akan menjadikan tikus sebagai mangsa. Semua lega menyambut ikrar haji kucing. Satu-persatu tikus pun mulai memberanikan diri mendekat. Merasa percaya diri bergaul dengan kawanan kucing.
Sempat terjadi diskusi sesama kaum tikus. Soal pernyataan yang telah diikrarkan haji kucing akan merubah kebiasaan lamanya. Sebagian percaya, sebagian tetap ragu. Malah mencibir. Muncul usulan voting dalam rapat khusus kaum tikus. Supaya jelas siapa yang percaya, dan siapa tidak mau dikibuli kucing yang nota bene sudah bergelar haji. Muncul pula pendapat netral sebagai penengah.
“Ada benarnya juga, supaya jangan ada saling menyesali di antara kita, karena ada yang terpikat gelar haji yang sekarang disandang si kucing,” kata pendukung voting. Yang percaya, berusaha meyakinkan bahwa predikat haji adalah beban moral. Harus ditunjukan dengan perilaku menjadi lebih baik. Ia mencontohkan bangsa manusia. “Bangsa manusia seperti itu. Setelah bergelar haji, sifat dan perilakunya selalu dijaga. Karena menyadari gelar haji bukan main-main.”
Seiring waktu, kebiasaan lamanya kambuh. Sifat dan tabiat kucing kembali seperti sebelumnya. Syahwat menerkam tikus kembali menjadi-jadi. Bahkan makin ganas. Mungkin karena merasa sebagian dosanya sudah terhapus setelah berhaji. Bisa bikin dosa baru lagi. Begitulah kucing sebelum dan setelah bergelar haji, tetap saja mengeong.
Doa terbaik untuk jamaah haji menjadi haji mabrur. Semoga sekembali dari Tanah Suci selalu istiqomah agar tidak menjadi haji meong. (*)