Oleh: M Danial
DUA puluh enam tahun lalu dari hari ini. Presiden Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden. Jabatan yang telah diduduki 32 tahun lebih. Peristiwa tersebut menandai berakhirnya era Orde Baru. Dan menjadi awal era reformasi yang membawa angin segar untuk demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia.
“Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, pada hari ini, Kamis tanggal 21 Mei 1998,” ucap Presiden Soeharto kala itu, di hadapan sejumlah tokoh yang diundang ke Istana Merdeka, Jakarta. Pernyataan pengunduran diri Soeharto disertai pengumuman bahwa Wakil Presiden BJ Habibie menjadi penggantinya.
Soeharto memutuskan berhenti sebagai Presiden setelah berkuasa lebih dari tiga dekade. Sebagai respon terhadap tekanan yang berlangsung terus-menerus dari gerakan proreformasi. Gerakan itu dipelopori oleh mahasiswa yang didukung berbagai elemen masyarakat.
Seminggu sebelum pengunduran diri Presiden Soeharto, terjadi kerusuhan besar di berbagai kota di Indonesia. Pemicunya adalah krisis ekonomi yang berkepanjangan. Karena itulah tanggal 21 Mei menjadi titik balik sejarah runtuhnya Orde Baru dengan lahirnya reformasi.
Reformasi bukan hanya merupakan angin segar bagi demokrasi dan kebebasan berpendapat. Setelah lebih tiga dekade terbelenggu rezim otoriter orde baru. Merupakan pula momentum untuk menguatkan komitmen memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.
Pemilu pertama era reformasi berlangsung pada 1999. Pesertanya 48 parpol memperebutkan kursi DPR DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Penanggung jawab pemilu kala itu adalah Presiden. Sedangkan penyelenggara pemilu adalah KPU sebagai lembaga yang bersifat bebas dan mandiri. Tapi komposisi keanggotaan KPU terdiri unsur parpol dan pemerintah.
Pemilu di masa orde baru hanya diikuti dua parpol (PPP dan PDI) dan Golongan Karya (Golkar). Partai bentukan pemerintah orde baru itu disebut golongan, bukan parpol.
Bulan Mei merupakan pengingat sejarah awal reformasi. Salah satu intinya adalah kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat, dan kebebasan memperoleh informasi yang merupakan hak asasi manusia.
Namun faktanya, sejak era reformasi kebebasan berpendapat kerap masih diwarnai praktik intimidasi dan upaya pembungkaman. Secara langsung atau tidak langsung. Caranya beda dengan orde baru, tapi lebih refresif dari zaman Sieharto.
Praktik korupsi yang berawal dari kolusi dan nepotisme pun makin merajalela. Malah kian meningkat intensitasnya. Merambah semua lembaga dan institusi, dan terjadi di semua level pemerintahan.
Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Hans Giovanny Yosua menyebut tiga pola pembungkaman berekspresi di Indonesia. Pertama, represi secara langsung saat terjadi unjuk rasa. Kedua, serangan siber berupa peretasan dan stigmatisasi kritikus oleh buzer. Ketiga, penggunaan instrumen hukum untuk pemenjaraan ekspresi. Pembungkaman tersebut disebut kriminilasisasi atau ‘judicial harassment’.
“Itu menunjukan pejabat publik belum terbiasa dengan kebebasan berekspresi. Belum terbiasa dengan kritik. Betul secara teoritis kita sudah ada di alam pemerintahan yang domokrstis, tapi rupanya yang mengisi alam pemerintahan demokratis itu masih belum terbiasa dengan kritik, masih kental dengan pola-pola otoritarian,” kata Hans, dikutip voaindonesia.com (09/05/2023).
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang disusun Basan Pusat Statistik (BPS) pada 2009 hingga 2020, ancaman atau kekerasan oleh aparat pemerintah terhadap kebebasan berpendapat hampir selalu lebih tinggi daripada ancaman atau kekerasan oleh masyarakat. Menurut BPS, meski trennya menurun, angka indeks itu masih berasa di atas 50 persen.
Pada usia era reformasi melewati seperempat, masih terjadi pula pengabaian hak publik oleh pemerintah dan DPR RI. Salah satunya terkait revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Rancangan revisi UU tersebut memicu keprihatinan kalangan pers, para jurnalis, ahli hukum, dan pembela kebebasan demokrasi.
Dewan Pers sebagai lembaga yang sangat terkait dengan karya jurnalistik tidak dilibatkan dalam perumusan draf revisi UU tersebut. Sementara yang direvisi terkait ketentuan-ketentuan yang secara kritis melemahkan peran jurnalisme investigasi. Sebaliknya memperbesar kekuasaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Dilansir tempo.co (15/5/2024), Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan upaya merevisi sebuah UU merupakan hal yang biasa. Namun, bagi Dewan Pers ada beberapa pasal dalam draf revisi UU Penyiaran yang bertabrakan dan kontradiktif dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Kami menolak RUU Penyiaran. Kami memghormati rencana revisi UU Penyiaran, tapi mempertanyakan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU Penyiaran,” kata Ninik Rahayu, dilansir tempo.co (15/5/2024).
Ketua Dewan Pers sangat menyesalkan tidak dilibatkannya Dewan Pers dan konstituen pers me bahas draf revisi UU Penyiaran tersebut. Penyusunan draf revisinya sejak awal tidak melibatkan Dewan Pers. Jika revisi UU Penyiaran disahkan, maka tidak akan ada lagi independensi pers. Pers bakal makin jauh dari profesional.
Pemilu 2024 telah berlangsung lancar dan sukses. Namun terlalu berlebihan dikelaim berjalan jujur, adil, dan demokratis. Isu keterlibatan pejabat dan aparat untuk memenangkan Paslon Pilpres tertentu, atau untuk parpol tertentu menjadi cerita masyarakat.
MK telah mengadili dan memutus hasil Pilpres, tapi masalah ketidaknetralan pejabat dan aparat, termasuk penyelenggara pemilu, akan tetap menjadi kisah yang tak mudah terlupakan. Bagaimana memulihkan kepercayaan rakyat kepada yang seharusnya dipercaya dan dijadikan teladan, kini merupakan tantangan. Sekaligus untuk menepis bahwa reformasi kini bukan lagi stagnan. Tapi berjalan mundur. Semoga tidak terjadi reinkarnasi menjadi orde baru jilid baru. (*)