JAKARTA, RADAR SULBAR – Segala upaya untuk membentuk sikap dan perilaku selamat perlu didukung teknologi dan kecerdasan buatan (AI) agar mampu menurunkan risiko kecelakaan kerja dan meningkatkan keselamatan kesejahteraan karyawan.
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2012 menyebutkan bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja, yang selanjutnya disingkat K3, adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
Dewasa ini penggunaan AI untuk implementasi K3 sudah semakin berkembang. Sejumlah perusahaan telah menerapkan pemantauan terintegrasi dengan kamera real-time (waktu aktual) di area kerja yang mampu mengidentifikasi potensi bahaya dan memberi peringatan segera, sehingga menurunkan angka kecelakaan kerja.
Selain itu juga ada kamera pengawas dan sensor cerdas yang dapat mengenali secepatnya perilaku-perilaku berisiko, seperti penggunaan perlindungan diri yang tidak memadai, tidak sesuai standar.
Selanjutnya perangkat keselamatan pribadi yang dilengkapi sensor pintar yang terhubung ke sistem AI, mampu memberi informasi kondisi fisik pengguna, juga mendeteksi potensi kelelahan atau masalah kesehatan yang mempengaruhi keselamatan kerja.
Bahkan, kabarnya sudah banyak otomasi menggunakan robot cerdas yang diterjunkan ke lokasi berbahaya. Selain itu juga penggunaan data historis dan algoritma pembelajaran mesin yang dapat memprediksi potensi kecelakaan dan mendeteksi kerusakan peralatan mekanikal elektrikal.
Lebih jauh lagi, sudah banyak pelatihan virtual dan teknologi AI mampu menghadirkan simulasi interaktif, yang memungkinkan pekerja berlatih dalam lingkungan virtual mirip kondisi nyata.
Semuanya adalah bukti bahwa teknologi berbasis AI dalam implementasi K3 mutlak diperlukan. Bukankah kita sendiri adalah produk transhumanisme, yakni bahwa teknologi telah memecah hambatan-hambatan kemanusiaan kita? Peran-peran manusia telah diambil alih, digantikan dengan mesin. Faktanya, teknologi tidak bisa direm, tidak bisa dihentikan, maka di sinilah perlunya digital innovation and speed. Tanpa adanya inovasi dan kecepatan adaptasi teknologi, maka kita akan hilang.
Standar acuan
Untuk menentukan pijakan awal melangkah sebuah entitas bisnis dalam menerapkan teknologi, perlu acuan untuk memotretnya. Tanpa memotret, maka tidak akan pernah tahu kemana mulai melangkah.
Untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), telah terbit Surat Keputusan Menteri BUMN tahun 2020 yang mewajibkan pelaksanaan asesmen untuk mengukur kesiapan industri dalam bertransformasi menuju Industri 4.0.
Standar yang dipergunakan adalah Indonesia Industry 4.0 Readiness Index atau “INDI 4.0” yang merupakan acuan untuk mengukur tingkat kesiapan perusahaan dalam bertransformasi ke era Industri 4.0. Hal ini selaras dengan kesiapan perusahaan menuju industri maju dan berdaya saing di era digital sebagai bagian dari program pemerintah, yakni “Making Indonesia 4.0”.
Dukungan teknologi dalam implementasi K3 tentu akan meningkatkan rasa aman dan memacu produktivitas perusahaan, namun semuanya tentu perlu dibungkus dengan pembentukan sikap dan perilaku selamat, yang dinamakan “Budaya Sadar K3”.
Pilar INDI 4.0
Budaya sadar K3 menjadi kunci utama dalam implementasi K3, sesuai dengan INDI 4.0 yang dibangun oleh 5 pilar pengukuran tingkat kematangan, yakni “manajemen dan organisasi”, “orang dan budaya”, “produk dan layanan”, “teknologi”, dan “operasi pabrik”.
Pilar “orang dan budaya” menempati porsi paling besar dalam standar acuan tersebut, yakni 30 persen atau paling tinggi dibanding pilar lainnya yang masing-masing sebesar 17,5 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa faktor budaya menjadi poin penting dalam aspek pengukuran kesiapan transformasi digital.
Akan halnya budaya K3 didefinisikan sebagai suatu sikap, nilai, keyakinan, norma, dan persepsi yang mendasari perilaku selamat, dan penerapannya secara praktis dalam proses produksi. Budaya K3 yang baik akan menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi semua pekerja.
Tentu saja, budaya K3 yang baik akan meminimalkan risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Ciri-ciri budaya K3 yang telah terinternalisasi di badan usaha atau bentuk usaha tetap adalah adanya motivasi untuk melaksanakan K3 dan kecukupan pengetahuan dan kemampuan untuk menerapkan K3.
Lantas siapakah yang membangun budaya K3? Badan usaha atau bentuk usaha tetap perlu memiliki suatu Sistem Manajemen K3 yang harus dipahami seluruh lapisan manajemen sampai lapisan pekerja di lapangan.
Mengutip hasil seminar K3 yang dimuat di situs Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Sabtu, 9 Maret 2024, disebutkan tentang pentingnya membangun budaya organisasi yang mendukung keselamatan sebagai landasan utama untuk mencapai kesejahteraan dan produktivitas yang optimal di tempat kerja.
Pembicara utama seminar tersebut adalah Dr. Ir. Bimo Prasetyo, Direktur PT Citra Marga Lintas Jabar, yang menekankan bahwa budaya organisasi yang kuat, yang didasarkan pada nilai-nilai keselamatan dan kesadaran kolektif akan keselamatan, akan menciptakan lingkungan kerja yang aman dan produktif. Sebaliknya, ketika budaya keselamatan tidak diutamakan atau bahkan diabaikan, risiko kecelakaan dan cedera kerja cenderung meningkat.
Membangun budaya K3 didefinisikan sebagai upaya membentuk sikap dan perilaku selamat yang dibangun dari nilai-nilai keselamatan yang ditanamkan dalam budaya organisasi.
Berikut adalah sejumlah faktor penentu keberhasilan membangun budaya K3 menurut para ahli yang dirangkum dari berbagai sumber, termasuk situs www.SafetySign.co.id
Pertama, adalah komitmen manajemen terhadap keselamatan kerja. Komitmen ini dapat berupa aturan atau kebijakan tertulis yang harus dipahami seluruh pekerja. Pada praktiknya, komitmen tersebut berupa peraturan perusahaan, ketersediaan fasilitas keselamatan kerja, serta kecukupan sumber daya yang kompeten.
Faktor kedua, untuk menentukan keberhasilan membangun budaya K3 adalah ketersediaan peraturan dan prosedur K3 agar tercipta budaya keselamatan yang baik. Secara pragmatis bentuk dari peraturan dan prosedur K3 adalah program komunikasi bahaya, alat pelindung diri (APD), prosedur izin kerja khusus (work permit), prosedur praktik kerja aman, prosedur tanggap darurat, dan lain-lain.
Faktor ketiga, adalah komunikasi. Perlu diciptakan komunikasi terbuka (transparan) dan berlangsung dua arah antara pemimpin/manajemen dengan pekerja. Ketersediaan wadah komunikasi menjadi hal yang penting sebagai bentuk partisipasi seluruh pekerja agar tersedia input, saran, dan masukan untuk meningkatkan keselamatan di perusahaan.
Faktor keempat, adalah keterlibatan. Melalui upaya melibatkan, memberdayakan dan mendorong pekerja dalam penerapan K3, maka akan menumbuhkan rasa tanggung jawab mengutamakan K3 dalam pekerjaannya.
Faktor selanjutnya adalah lingkungan sosial yang kondusif. Lingkungan yang tidak saling menyalahkan bila terjadi kecelakaan pada pekerja, sehingga kesadaran akan keselamatan di antara pekerja makin meningkat.
Faktor keenam adalah perilaku keselamatan kerja yang baik, sehingga dapat mengurangi kecelakaan kerja yang disebabkan oleh tindakan tidak aman. Dan faktor terakhir adalah kepemimpinan keselamatan (Safety Leadership), yakni motivasi pekerja dibangun berdasarkan teladan dari pimpinan.
Pernyataan Sofia Rasyid, SKM, dari UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan wilayah I Bogor, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat, bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen berdasarkan ketentuan, diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap kinerja perusahaan dan pemerintah, sehingga kemandirian masyarakat berbudaya K3 dapat dicapai dan dapat berdaya saing di tingkat internasional.
*) Dyah Sulistyorini adalah alumnus Paramadina Graduate School of Communication (PGCS) Jakarta dan Manajer Umum Perum LKBN ANTARA
Copyright © ANTARA 2024