Oleh: M Danial
SALAH satu diksi yang paling ramai belakangan ini adalah THR: Tunjangan Hari Raya. THR mengalahkan berita soal pemilu curang dan sidang sengketa hasil pemilu 2024 di MK. Diksi “serangan fajar” yang memenuhi ruang publik hingga hari pencoblosan
Pemilu 14 Februari, berangsur tenggelam seiring pelaksanaan rekapitulasi berjenjang oleh KPU.
THR merupakan tradisi yang dinantikan para pegawai pemerintah dan pekerja swasta sebagai bingkisan atau hadiah jelang lebaran idul fitri atau hari raya keagamaan lainnya. Pemerintah telah mengeluarkan peraturan sebagai payung hukum THR yang merupakan hak para pegawai dan pekerja. THR bagi banyak orang merupakan tambahan rezeki atau rezeki nomplok yang dinantikan setiap tahun.
Pemberian THR awalnya sebagai bentuk penghargaan atau apresiasi kepada para pegawai atau pekerja menjelang hari raya. Pemerintah atau perusahaan swasta wajib memberikan pendapatan non-upah kepada pekerja menjelang hari raya keagamaan.
Dari beberapa referensi, pemberian THR dikenal sejak awal 1950-an. Tepatnya 1951. Dicetuskan pertama kali oleh Soekiman Wirjosanjoyo yang kala itu menjabat sebagai perdana menteri keenam Indonesia pemerintahan Presiden Soekrano. Pemberian THR kepada para pamong praja (kini disebut PNS) merupakan salah satu program untuk meningkatkan kesejahteraan aparatur negara.
Kala itu setiap pamong praja mendapat THR sebesar Rp125 (seratus dua puluh lima rupiah) sampai Rp200 (dua ratus rupiah) per orang. Jumlah tersebut setara dengan Rp1 juta sampai Rp1,7 juta sekarang. THR tidak hanya berupa uang, namun juga dalam bentuk sembako seperti beras.
Pemberian THR hanya kepada pamong praja atau PNS menimbulkan protes kaum buruh. Pada 13 Februari 1952 para buruh mogok kerja. Mereka melakukan aksi demo menuntut pemerintah memberikan hak serupa yang diberikan kepada PNS.
Tuntutan para buruh akhirnya diakomodir pemerintah pada 1954. Menteri Perburuhan mengimbau setiap perusahaan memberikan “hadiah lebaran” kepada para pekerja di perusahaannya sebesar seperdua belas dari upah.
Tahun 2016 imbauan menteri berupa surat edaran pemberian “hadiah lebaran” berubah menjadi Peraturan Menteri. Isinya mewajibkan perusahaan memberikan “hadiah lebaran” kepada pekerja senilai minimal tiga bulan upah atau gaji. Pada 1994, Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan peraturan yang mengubah istilah “hadiah lebaran” menjadi THR, sebagaimana dikenal sampai sekarang.
Menjelang Idul Fitri 1445 H / 2024 M sekarang, pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberian THR dan gaji 13 kepada aparatur negara, pensiunan, penerima pensiun, dan penerima tunjangan. Aparatur negara terdiri ASN (PNS, PPPK), prajurit TNI dan anggota Polri.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas mengatakan pemberian THR dan gaji 13 sebagai bentuk apresiasi kepada seluruh aparatur negara yang telah, sedang, dan ke depan akan terus berkontribusi memberikan pelayanan terbaik. Selain itu, sebagai upaya pemerintah untuk menggerakan perputaran ekonomi masyarakat.
“Pemberian THR merupakan penghargaan atas kontribusi aparatur negara yang telah bekerja keras memberikan pelayanan terbaik untuk rakyat dan untuk mendorong agar kinerja para ASN ke depan akan jauh lebih baik dari sebelumnya,” jelas Menpan-RB Abdullah Azwar Anas kepada pers (15/3).
Pemberian THR untuk pekerja atau buruh diatur Menteri Ketenagakerjaan melalui surat edaran (SE) nomor M/2/HK.04/III/2024 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan 2024 bagi Pekerja/Buruh di perusahaan. Isinya mewajibkan perusahaan memberikan THR kepada pekerja sesuai peraturan perundang-undangan.
Di sis lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan pentingnya pencegahan korupsi dan pengendalian gratifikasi terkait hari raya keagamaan atau perayaan hari besar lainnya.
Lembaga antirasuah itu mengeluarkan surat edaran resmi yang berisi Imbauan Pencegahan dan Pengendalian Gratirifikasi di Hari Raya. Gratifikasi berpotensi terjadi kepada pejabat pemerintah dan penyelenggara negara berupa pemberian THR. KPK mengingatkan bahwa pemberian THR kepada aparatur pemerintah – penyelenggara negara berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
“Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya”. (UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Dewan Pers pun mengeluarkan imbauan menjelang Idul Fitri 1445 H yang ditujukan kepada berbagai pihak. Intinya meminta semua pihak tidak melayani permintaan THR, bingkisan, atau sumbangan terkait Hari Raya Idul Fitri dari pihak-pihak yang mengaku wartawan / jurnalis atau sebagai konstituen Dewan Pers.
Ketua Dewan Pers Dr. Ninik Rahayu, SH., MS menegaskan bahwa pemberian THR kepada wartawan adalah kewajiban setiap perusahaan pers kepada pegawai atau wartawannya. Ia meminta supaya menolak permintaan THR dari pihak atau oknum yang mengaku wartawan atau media atau organisasi wartawan.
“Apabila mereka meminta dengan cara memaksa, memeras, dan/atau bahkan mengancam, sebaiknya mencatat identitas dan alamatnya dan melaporkannya ke kantor polisi terdekat,” tulis Ninik Rahayu dalam surat imbauan tanggal 28 Maret 2024. Surat Dewan Pers ditujukan kepada para petinggi seluruh Indonesia.
Menjelang lebaran seperti sekarang, banyak pejabat sulit ditemui wartawan untuk mendapatkan informasi. Misalnya dalam tugas liputan mudik lebaran di bandara, pelabuhan, atau terminal.
Wartawan yang benar-benar tugas liputan dan membutuhkan narasumber, menjadi korban karena sebagian pejabat meggeneralisir oknum yang menyalahgunakan profesi wartawan. Khawatir dimintai THR. Banyak narasumber pernah berinteraksi dengan oknum wartawan yang “gentayangan” untuk kepentingan pribadi. Abal-abal.
Sebenarnya banyak oknum selain wartawan yang kerap memanfaatkan momentum lebaran untuk “beroperasi” mendatangi pejabat atau sumber yang dianggap potensil memberikan THR. Makanya sering dikeluhkan berbagai pihak.
Tawaf mengelilingi Ka’bah adalah salah satu rangkaian ibadah haji di Tanah Suci, Makkah. Seorang teman saya mengatakan oknum yang kerap berkeliling ke berbagai tempat, dari kantor ke kantor pemerintah atau swasta, tidak berlebihan disebut tawaf. Tawaf (mencari) THR. (*)