Oleh: M Danial
TIDAK banyak kepala desa atau pemimpin formal yang punya kemampuan ceramah agama. Apalagi untuk tampil layaknya ustaz di depan jamaah di bulan ramadhan. Kebanyakan pemimpin formal hanya bicara bagaimana tugasnya berjalan lancar. Itu pun sangat normatif dan hampir seragam bahasanya dari satu acara ke acara lain.
Mariono adalah salah satu dari sedikit kepala desa yang punya nilai plus sebagai ustaz. Kepala Desa Campurjo, Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Polewali Mandar itu mengisi jadwal tauziah ramadhan di masjid jami desanya: Raudatul Muttaqin. Ia mengangkat tema: Mengingat kematian.
Pria kelahiran 1976 itu sangat lancar membahas tema tausiahnya. Menyebutkan pula beberapa ayat Alquran dan hadis Nabi Muhammad Saw yang dilafalkan sangat fasih. Untuk menegaskan bahwa tema yang diketengahkan sangat urgen. Karena kematian akan dihadapi setiap manusia. Begitupun semua mahluk hidup. Tidak ada yang bisa menghindar atau lolos dari kematian. Sayangnya kebanyakan orang melupakannya.
“Di mana pun kamu berada, kematian akan datang kepadamu walau berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh,” PakDe Mariono mengutip surah An-Nisa 78. Sangat fasih.
Islam mengajarkan untuk selalu mengingat kematian. Karena itulah sangat penting agar setiap orang bisa mempersiapkan diri sebelum datangnya peristiwa yang pasti terjadi itu.
Perlu selalu mengingat kematian dan mempersiapkan diri menghadapinya. Karena tidak seorang pun manusia yang mengetahui kapan, di mana, dan bagaimana dia mati. Tiga hal tersebut adalah rahasia Tuhan. Sang Pencipta.
“Tiga hal mengenai kematian adalah rahasia Tuhan. Yaitu waktu, dimana, bagaimana atau penyebab meninggalnya seseorang,” tambah Mariono, meyakinkan.
Mengapa penting selalu mengingat kematian? Jawabannya, untuk menjadi pendorong bagi setiap orang selalu mengingat kewajiban sebagai hamba Allah Swt. Beribadah, mendekatkan diri kepada Allah Swt untuk memperoleh kasih sayangnya. Memperoleh kemudahan dan terhindar dari kesulitan berbagai urusan dunia maupun akhirat.
Kematian adalah misteri. Selalu mengingat kematian, agar sebagai manusia selalu menebar kebaikan. Berusaha menjadi hamba Allah yang tawadhu, dijauhkan dari sifat sombong, angkuh, dan perbuatan dosa lainnya.
Awalnya saya menduga tema yang akan diangkat Mariono berkaitan dengan tugas dan fungsinya sebagai pemerintah dan pelayan rakyat. Seperti masalah sampah yang sudah berbilang tahun menjadi problem di Polman.
Ternyata tema tausiahnya menukik ke soal kematian.
Pemimpin formal yang bersentuhan langsung dengan rakyat, patut diapresiasi mengingatkan banyak hal kepada rakyatnya. Selain mengurus kepentingan dunia, tidak melupakan persiapan menghadapi kematian.
Para pemimpin formal pemerintahan di setiap level, idealnya memiliki kemampuan pendekatan kepada masyarakat dari berbagai perspektif. Pendekatan dari perspektif agama merupakan salah satu cara yang efektif. Berkomunikasi kepada rakyat tentang berbagai hal melalui mimbar jamaah di masjid-masjid.
Mariono memberi tausiah ramadhan soal kematian sangat meyakinkan sebagai ustaz. Menandakan dirinya punya talenta sebagai pemimpin formal sekaligus pemimpin nonformal yang punya kelebihan tersendiri.
Penampilannya sederhana. Humble. Walau sebagai seorang kades, tapi tidak menonjolkan jabatan yang disandangnya sejak 2022. Saat MC masjid mengundang ke mimbar untuk memberi tausiah ramadhan, ia muncul dari ujung saf hampir di pojok masjid.
Ia berada di antara jamaah pada umumnya.
Mencontohkan kesederhanaan kepada jamaah yang juga rakyatnya. Layak disebut ustaz, tapi tidak menonjolkan diri. Stylenya tidak seperti kebanyakan penceramah yang akrab disapa ustaz, bahkan kiyai. Yang selalu menyandang surban di bahu atau melingkar di lehernya. Yang identik sebagai kelengkapan busana ustaz.
“Saya hanya mengisi jadwal yang kosong, kebeulan penceramah yang dijadwalkan berhalangan hadir,” PakDe Mariono, merendah.
Ia mengaku tidak punya pendidikan khusus sebagai pendakwah, misalnya pesantren. Jenjang pendidikannya mulai SD, SMP, SMA umum. Hanya semasa SD belajar pengajian di madrasah pada sore hari setelah belajar di SD pada pagi hari, di Kuningan, Desa Campurjo.
Mariono pun menolak disapa ustaz. Katanya, sebutan itu terlalu berlebihan. Yang cocok sebutan itu, mereka yang pemahaman agamanya tinggi dan bisa menjadi teladan bagi masyarakat sebagai tokoh agama. (*)