Oleh: dr Bambang Budiono, Sp.JP,IHA.FAPSIC,FSCAI (primayahospital.com)
“Kita kekurangan 140.000 dokter dan itu akan segera kita atasi dengan cara kita akan menambah fakultas kedokteran di Indonesia, dari 92 dan kita akan membangun 300 fakultas kedokteran dan mengirim 10.000 anak-anak pinter dan kita kirim dengan beasiswa ke luar negeri untuk belajar kedokteran dan 10.000 lagi untuk belajar science, teknologi dan fisika,” kata salah seorang capres dengan berapi api.
Benarkah Indonesia kekurangan dokter dan solusinya membangun Fakultas Kedokteran hingga lebih dari 3 kali lipat dari yang ada sekarang.
Jika mengacu data Kemenkes, jumlah dokter saat ini di Indonesia berjumlah sekitar 130 ribu, sedangkan kebutuhan berdasar rasio ideal 1 per 1000 penduduk adalah 270 ribu.
Maka secara matematika, bisa dimengerti dengan mudah bahwa Indonesia kekurangan sekitar 140 ribu dokter.
Apakah ini berarti kita harus mengejar kekurangan jumlah dokter dengan mendirikan lebihh 200 Fakultas kedokteran baru?
Apakah mendirikan fakultas kedokteran adalah semudah membalik telapak tangan?
Kualitas program studi kedokteran akan memengaruhi kualitas dokter yang dihasilkan dan tentunya berdampak pada layanan medis yang diberikan kepada Masyarakat.
Sejauh ini dari 97 fakultas kedokteran di Indonesia, baru 35 yang terakreditasi A.
Alih alih mendirikan fakultas kedokteran baru, kenapa bukan memperbaiki kualitas fakultas kedokteran yang sudah ada agar mampu meluluskan dokter yang berkualitas?
Mendirikan Fakultas Kedokteran baru tak hanya sekadar membangun gedung, membeli sarana dan prasarana mengajar.
Tanpa staf pengajar yang berkualitas, maka jangan berharap bisa meluluskan dokter berkualitas.
Jika lulusan fakultas kedokteran tak berkualitas baik, pada akhirnya hanya akan menimbulkan layanan Kesehatan substandar.
Tahukan kita, Ketika dilakukan uji kompetensi, berapa jumlah dokter yang tak lulus ?
Jika kita tak menutup mata pada realita di lapangan, problem yang terpampang di depan mata bukan sekadar soal kuantitas dokter.
Distribusi dokter yang belum merata, juga menjadi masalah besar tidak meratanya layanan Kesehatan di Indonesia.
Mengapa ada daerah yang tenaga dokternya tercukupi sedang daerah lain kekurangan dokter harus dilihat dengan cermat.
Dokter tak beda dengan profesi lain yang memerlukan penghasilan cukup, karena dokter tak memiliki hak Istimewa untuk bisa memperoleh harga khusus untuk sandang, papan dan pangan agar keluarganya bisa juga bisa hidup layak.
Bagaimanakah dengan kesejahteraan dokter di daerah?
Ada pemerintah daerah yang memberi renumerasi memadai untuk para dokter, tapi tak kurang banyak kepala daerah yang justru memotong jasa medis dokter untuk berbagai keperluan.
Kita tak jarang disuguhi berita dokter dan nakes lain mogok kerja karena jasa medis tak kunjung diberikan.
Jika mengirim 10 ribu siswa pintar untuk sekolah dokter di luar negeri itu hal yang mudah dikerjakan jika ada alokasi dana tersedia.
Namun, apakah mereka dijamin akan betah mengabdi di seluruh pelosok Indonesia tanpa ada jaminan kesejahteraan?
Mendirikan fasilitas kesehatan baru dilengkapi dengan peralatan canggih juga bukan Solusi menarik di tengah situasi sistem Kesehatan nasional yang masih penuh carut marut.
Toh, dokter di era ini, khususnya jika melayani pasien BPJS yang sekarang menjadi mayoritas pasien hampir di seluruh fasilitas Kesehatan, tak lagi memiliki lagi otonomi dalam menentukan pilihan modalitas untuk mendiagnosa.
Semua harus dikalkulasi oleh tim di fasilitas Kesehatan, apakah plafon biaya bisa menutupi biaya pemeriksaan penunjang diagnose tersebut.
Jika tidak, lupakan saja, meskipun ada indikasi sangat kuat penggunaan nya.
Masih banyak hal lain jika kita mau menelisik seluruh masalah. Hal hal diatas hanyalah sekelumit fakta lapangan yang sulit dipahami jika seseorang hanya meneropong persoalan dari belakang meja, dan menganggap perhitungan matematika bisa menjadi solusi.
Upaya perbaikan layanan kesehatan di Indonesia yang menempatkan kekurangan dokter dan kurangnya fasilitas kesehatan sebagai isu utama, tanpa memahami substansi masalah, ibarat dokter salah diagnosa. Obat yang diberikan tentu salah, dan berpotensi menimbulkan perburukan atau bahkan kematian.(*)