Oleh: M Danial
SEORANG relawan sosial datang ke desa, tiba-tiba ditanya soal paket sembako yang diberikan kepada sebuah keluarga yang hidupnya memprihatinkan.
“Dari partai apa, caleg nomor berapa?”
“Saya bukan caleg, bukan partai,” jawab sang relawan.
“Jadi, sembako dari mana ini?” desaknya.
“Hamba Allah,” singkat relawan itu.
“Biasanya yang begini (bantuan) dari partai, dari caleg,” ungkap warga tersebut, terlihat penasaran ada sembako tanpa nama.
Masa kampanye pemilu seperti sekarang, para politisi atau tim sukses rajin mengunjungi warga. Intensitas kunjungan yang cukup tinggi dikemas dengan sebutan silaturahmi. Warga mengaku sering kedatangan tamu. Termasuk tamu asing atau yang baru pertama bertemu, namun sang tamu biasanya sok akrab seperti kawan lama.
Fenomena lima tahunan itu sudah lazim sebagai silaturahmi politik. Para politisi atau tim sukses rajin menyambangi warga menebar janji manis harapan indah. Tapi intinya kepentingan elektoral, mencari dukungan (suara). Tidak sedikit kesibukan blusukan disertai pembagian kalender, stiker, sampai kaos bergambar caleg.
Tak heran banyak rumah di depannya berjejer stiker caleg berbagai partai, termasuk calon DPD. Belum lagi di dalam rumah berderet pula kalender caleg. Rumah berhias gambar caleg lebih banyak terlihat di pedesaan. Itu menunjukan keramahan warga, terbuka terhadap setiap tamu yang bertandang ke rumahnya.
Masa-masa seperti sekarang ramai juga pembagian paket sembako atau barang lain
dalam kemasan bergambar caleg. Hitung-hitung merupakan sosialisasi pemilu, meski bagi para “donatur dadakan” adalah pesan: ingat partai anu, caleg nomor sekian.
Namun tidak banyak yang menyadari, atau pura-pura tidak menyadari bahwa pemberian barang seperti sembako, uang atau materi lain yang bertujuan memengaruhi pemilih adalah bentuk suap. Suap merupakan politik uang atau money politic.
Merujuk laman resmi KPK, politik uang adalah upaya memengaruhi pilihan pemilih (voters). Politik uang tidak hanya menyasar pemilih, tapi juga penyelenggara pemilu untuk melakukan atau tidak melakukan tugasnya sesuai ketentuan dengan pemberian imbalan materi atau lainnya.
Politik uang akan memunculkan pemimpin yang hanya peduli dan berpikir untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Bukan kepentingan masyarakat. Terpilih karena politik uang akan memanfaatkan jabatannya menghalalkan segala cara untuk memeroleh keuntungan. Untuk mengembalikan modal membeli suara.
Seseorang yang terpiih karena politik uang akan mengulangi praktik pelanggaran yang pernah dilakukan. Menganggap lumrah praktik politik uang, suap-menyuap, gratifikasi atau korupsi bentuk lainnya demi mencapai tujuan. Para ahli menyebut politik uang merupakan “mother of corruption” atau induknya korupsi.
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, Amir Arif mengatakan politik uang telah menyebabkan politik berbiaya mahal. Selain untuk jual beli suara (vote buying), para kandidat (dalam Pilkada) harus juga membayar mahar politik kepada partai politik dengan nominal yang fantastis.
Modal politik uang tentu tidak semua dari kocek pribadi caleg. Melainkan donasi dari berbagai pihak yang mengharapkan hasil timbal-balik jika terpilih. Kareba itulah sangat penting bagi rakyat menelusuri rekam jejak calon yang akan dipilih.
Politik uang merupakan ancaman serius untuk mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan bermartabat. Hasil survei LSI (Lembaga Survei Indonesia) pada Pemilu 2019, hampir 48 persen masyarakat beranggapan politik uang hal yang biasa. Hal tersebut relevan dengan politik berbiaya mahal.
Hari “H” Pemilu 2024 masih 50-an hari ke depan. Masa kampanye akan berlangsung hingga 10 Februari 2024. Praktik politik uang dalam berbagai bentuk dipastikan bakal makin ramai pula. Para pelaku telah menyiapkan cara dan strategi agar tidak kena semprit Bawaslu. Beroperasi tanpa terdeteksi dengan teknik menghindar dan jurus mengantisipasi tuduhan pelanggaran.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menegaskan, peserta pemilu maupun tim kampanye dilarang membagikan sembako pada masa kampanye Pemilu 2024.
“Kalau sudah bagi sembako, masuk (kategori) politik uang. TIndak pidana nanti,” ujar Bagja (Kompas.com 7/12/23).
Seorang teman menceritakan pengalaman berinteraksi dengan warga sebuah desa, beberapa hari lalu. Dia mengajak warga ngobrol ringan soal pemilu. Terutama melihat rekam jejak caleg yang layak menjadi wakil rakyat.
“Berapa uangnya? Pastikan dulu uangnya, kapan kita terima,” tiba-tiba seorang teman ngobrolnya mendesak. Teman saya hanya bisa melongo, tak bisa berbuat banyak.
Yang lebih parah, sindiran terhadap yang menolak politik uang. Disebut orang bodoh.
“Jangan bilang pelanggaran, yang tidak mau terima uang itu orang bodoh.” Nah, bagaimana mengatasi politik uang ? (*)