Oleh: M Danial
JAGAT informasi pemilu 2024 ramai soal debat Pilpres. Persiapan debat sempat riuh karena format yang berbeda dengan debat Pilpres 2019. Polemik berakhir setelah KPU dan Tim Paslon menyepakati format debat Pilpres 2024. Format dimaksud seperti terlihat pada debat perdana yang telah berlangsung 12 Februari 2023
Debat merupakan salah satu bentuk kampanye dalam tahapan Pilpres. Diatur dalam Pasal 277 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang dijabarkan dalam Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023.
Debat adalah panggung capres dan cawapres untuk meyakinkan masyarakat keunggulan visi misi dan programnya. Kepiawaian beradu gagasan dan mengelaborasi pemikiran untuk menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa akan berpengaruh pada elektabilitas capres- cawapres. Terutama bagi pemilih yang masih terbuka mengubah pilihan alias ‘swing voters’ maupun massa mengambang atau pemilih yang masih bimbang (‘undecided voters’).
Survei terbaru Litbang Kompas dilansir CNN.indonesia (11 Desember), angka pemilih bimbang atau undecided voters melonjak tinggi sampai 28,7 persen dari sebelumnya 15,4 persen pada September 2023. Pemilih kelas menengah terdidik dan masyarakat secara umum dikategorikan elemen swing voters dan undecided voters.
Dalam sejarah pemilu di Indonesia, debat Pilpres pertama kali digelar pada 2004. Pemilu 2004 untuk pertama kali pula rakyat memilih langsung calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan paslon presiden dan wapres.
Lima pasangan capres-cawapres Pilpres 2004 yaitu Megawati Soekarnoputri – Hasyim Muzadi, Amien Rais -Siswono Yudo Husodo, Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla, Hamzah Haz – Agum Gumelar, dan Wiranto – Salahuddin Wahid.
Kala itu para pengamat menilai debat Pilpres 2004 berlangsung kaku dan kurang maksimal. Bahkan belum mencerminkan sebagai ajang debat yang sesungguhnya. Mungkin karena pertama kali dilaksanakan, apalagi disiarkan televisi secara meluas. Terlepas dari kelemahan tersebut, terlaksananya debat diapresiasi sebagai awal tradisi yang baik untuk penguatan demokrasi pasca rezim orde baru.
Tiga Paslon Pilpres 2024, Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo – Mahfud MD.
Persiapan debat Pilpres 2024 sempat menjadi polemik soal format yang berbeda dengan debat Pilpres 2019. Publik mempertanyakan format debat yang menghilangkan ruang bagi rakyat untuk menyaksikan jagoannya mengelaborasi pemikiran dan percaya diri mengadu gagasan di panggung debat. Bukan seolah-olah debat tapi menyerupai cerdas-cermat.
Debat merupakan ruang untuk melihat karakter capres – cawapres dengan gagasan yang kongkrit dan realistis. Bukan sekedar melangitkan harapan yang selamanya menjadi angan-angan karena tidak disertai konsep riel untuk membumikan gagasan itu.
Efek debat bagi pemilih panatik atau loyal akan meneguhkan pilihannya. Sedangkan pemilih yang masih gamang sangat mungkin terpengaruh ferforma capres atau cawapres.
Rakyat menantikan gagasan besar para capres-cawapres menyampaikan gagasan besar sebagai solusi kongkrit berbagai persoalan bangsa kita.
Debat Pilpres bukan panggung mengumbar janji kepada rakyat yang sudah lelah dengan janji. Yang hari ke hari berusaha untuk bisa bertahan memikul beban kemiskinan. Melainkan sebagai media mengkomunikasikan gagasan besar para capres – cawapres untuk mengatasi berbagai permasalahan secara komprehensif.
Sejatinya debat bukan panggung pencitraan belaka. Bukan arena yang semata untuk menyerang, menyudutkan dan menjatuhkan lawan politik. Melainkan sebagai media pendidikan politik untuk demokrasi yang sehat dan mencerdaskan.
Debat masih akan berlangsung empat kali. Dua kali debat capres dua kali debat cawapres.
Kita berharap setiap sesi debat diakhiri dengan seruan para kandidat kepada pendukung dan simpatisannya untuk mengawal pemilu dan pilpres berjalan lancar, jujur, dan adil. Praktik kecurangan, money politic, intimidasi, dan semua bentuk menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan tidak hanya sebagai slogan saja. Realitasnya lain ucapan lain pula perbuatan.
Saya sempat membayangkan debat menjadi corong para kandidat menggaungkan closing statement yang menyejukan. Terutama untuk mencegah para pendukung di akar rumput selalu mengedepankan rasionalitas alias tidak berlebihan menyikapi “pertarungan sengit” di panggung debat.
Saya teringat anekdot klasik soal loyalitas para prajurit untuk kewibawaan sang raja. Jika raja tersakiti, maka para prajurit siap mati demi kewibawaan paduka sang raja. (*)