JAKARTA – Kurikulum Merdeka lahir didasarkan kepada realitas learning loss, gap, dan crisis. Learning loss (ketertinggalan belajar) dan learning gap (ketimpangan belajar) merupakan dampak utama pandemi COVID-19 yang membuat para murid kehilangan kesempatan untuk belajar sehingga terjadi ketimpangan kualitas dengan yang diharapkan.
Ada guyonan yang mengatakan pada zaman COVID-19 melahirkan para “sarjana corona”. Tentu saja kondisi itu lebih lanjut melahirkan learning crisis (krisis belajar).
Menurut Kajian Akademik Kurikulum untuk Pemulihan Pembelajaran pada 2022 yang dilakukan oleh Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, krisis belajar ini ditandai oleh rendahnya hasil belajar murid, bahkan dalam hal yang mendasar seperti kemampuan membaca.
Krisis belajar juga ditandai oleh ketimpangan kualitas belajar yang lebar antarwilayah.
Berangkat dari kondisi demikian, Kurikulum Merdeka memberikan keleluasaan dalam mempercepat pemulihan kondisi tersebut , salah satunya dengan menerapkan apa yang disebut dengan Projek Profil Penguatan Pelajar Pancasila (P5).
Menengok sejarah kurikulum di Indonesia, P5 ini merupakan salah satu keistimewaan Kurikulum Merdeka daripada kurikulum-kurikulum sebelumnya.
P5 ini, menurut Kajian Pengembangan Profil Pelajar Pancasila tahun 2020 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Perbukuan Kemendikbud, dirancang berdasarkan satu pertanyaan besar, yaitu “pelajar dengan profil – karakter dan kompetensi – apa yang ingin dihasilkan sistem pendidikan Indonesia?”.
Pertanyaan ini berkaitan dengan dua hal, yaitu kompetensi dan karakter untuk menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan untuk menjadi manusia unggul dan produktif di Abad 21.
P5 memperhatikan faktor internal yang berkaitan dengan jati diri, ideologi, dan cita-cita bangsa Indonesia, serta faktor eksternal yang berkaitan dengan konteks kehidupan dan tantangan bangsa Indonesia di abad ke-21 yang sedang menghadapi masa revolusi industri 4.0.
Walaupun implementasi P5 ini bukan sebuah kewajiban bagi semua Satuan Pendidikan di Indonesia, tetapi upaya-upaya penting untuk terus dilakukan untuk membangun kesadaran setiap satuan pendidikan agar menjadi sebuah kebutuhan untuk segera dipenuhi.
Tentu saja untuk mengimplementasikan P5 tentu bukan perkara mudah seperti membalik telapak tangan, namun juga bukan hal yang mustahil untuk direalisasikan.
Berikut ini adalah tantangan dalam mengimplementasikan P5. Pertama, keputusan tingkat tinggi. Pemimpin suatu satuan pendidikan mesti menyadari bahwa pemimpin itu adalah desisif, yakni terampil mengambil keputusan.
Apakah suatu satuan pendidikan itu akhirnya mengimplementasikan P5 ataupun tidak, berarti keputusan sudah diambil.
Ketika keputusan “menunda (karena belum siap) implementasi P5 di satuan pendidikannya (hingga siap)” dibandingkan dengan keputusan “mengimplementasikan P5 (dilakukan secara bertahap)”, sungguh keduanya adalah sama-sama sebuah keputusan.
Namun, kedua macam keputusan ini memiliki nilai yang berbeda. Keputusan pertama adalah keputusan tingkat rendah, sedangkan keputusan kedua adalah keputusan tingkat tinggi.
Letak perbedaannya di mana? Misalnya, untuk siap mengimplementasikan P5 itu butuh waktu satu tahun. Bagi keputusan tingkat rendah, rentang waktu satu bukan merupakan implementasi P5, sedangkan bagi keputusan tingkat tinggi, ia merupakan bagian dari pelaksanaan keputusan. Jelas makna dan implikasinya beda.
Dari sisi anggaran, kesungguhan, capaian, iklim, target waktu, keputusan tingkat tinggi akan menggerakkan semua sumber daya satuan pendidikan menuju keberhasilan.
Apalagi dilihat dari sisi eksternal satuan pendidikan, jelas keputusan tingkat tinggi memiliki nilai lebih.
Kedua adalah pola pikir top down masih terlalu kuat. Merujuk pada buku Pedoman Pengembangan P5 terbitan Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, pada halaman 23 disebutkan, langkah pertama dalam mengimplementasikan P5 adalah membentuk Tim Fasilitator P5.
Pimpinan satuan pendidikan menentukan seorang koordinator projek profil. Berhubung implementasi P5 ini bukan kewajiban tetapi pilihan, dan pimpinan satuan pendidikan tidak berminat (tidak siap) untuk melaksanakan P5, lalu apa yang perlu dilakukan?
Di sinilah pentingnya pola pikir tidak selalu top down atau pola pikir merdeka (sesuai nama kurikulum)
Apakah bisa jika ada sekelompok guru yang ingin mengimplementasikan P5 namun pimpinananya tidak berminat?
Sebagaimana dijelaskan di kajian Kurikulim Merdeka bahwa “menguatkan kemerdekaan guru sebagai pemegang kendali dalam proses pembelajaran, melepaskan kontrol standar-standar yang terlalu mengikat dan menuntut proses pembelajaran yang homogen”.
Tentunya ini bermakna bahwa pembentukan Tim Fasilitator P5 tidak hanya dari pimpinan, namun juga bisa berasal dari para guru.
Bahkan, jika kalimat di atas dipahami lebih mendalam, maka yang berhak menentukan siap tidaknya P5 adalah guru, bukan pimpinan.
Hal inilah yang menjadi tantangan untuk tidak selalu berpola pikir top down.
Salah satu kendala berpikir bottom up adalah iklim sekolah yang kurang mampu memaknai “kemerdekaan guru” bahwa guru adalah pengembang kurikulum di level instruksional.
Iklim yang tidak kondusif menjadi momok para guru untuk berkreasi dan melakukan ekspresi “kemerdekaan kurikulum”-nya.
Kreasi dan inisiatif guru masih dinilai dipandang negatif.
Ini tantangan kita bersama untuk menyebarkan benih iklim kreasi dan inovasi di satuan pendidikan.
Ketiga, menghargai inisiatif dan proses, bukan hasil. Tantangan ketiga ini terkait dengan tantangan kedua di atas dalam hal siapa yang menginisiasi.
Siapapun yang mengisiniasi, pimpinan (pola pikir top down) atau guru (pola pikir bottom up), hal pokok yang dibutuhkan adalah memberikan penghargaan kepada inisiatif dan proses yang sedang dilakukannya, bukan menuntut hasil dan memandang sinis.
Inisiatif dan proses adalah wujud bahwa satuan pendidikan itu ada, hidup, bergerak, aktif, dan bertransformasi. Hal inilah yang menjadi tantangan bersama.
Ada dua pola proses yang bisa dilakukan untuk menginisiasi P5 ini, yakni proses analisis dan proses sintesis. Proses analisis bagaimana menggunakan suatu input untuk diolah, dipandang, dipersepsi, diperlakukan menjadi beberapa macam produk atau proses lanjutan.
Proses sintesis adalah proses yang menggabungkan beberapa input untuk menjadi suatu produk atau proses lanjutan. Misalnya di sebuah satuan pendidikan ada sebuah kolam air di belakang sekolah.
Kolam ini pagi inovator bisa menjadi input untuk proses analisis dan proses sintesis. Dengan sebuah kolam, bisa dikreasikan berbagai macam inisiatif dan program.
Sebaliknya kolam mini menjadi salah satu input untuk inisiatif dan program cakupan yang lebih luas, misalnya kerjasama dengan beberapa satuan pendidikan. Penghargaan atas inisiatif dan proses inilah yang penting dikembangkan
Keempat, kemauan di atas segalanya. Mencermati tantangan kedua dan ketiga di atas, nyata sekali bahwa faktor “mau” adalah faktor yang paling dalam dan asli.
Kemauan jenis ini adalah kemauan yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam. Kemauan yang muncul dari kesadaran, pandangan hidup, dan wawasan yang luas.
Di dalam memulai untuk mengimplementasikan P5, faktor kemampuan menjadi nomor dua. Apalah makna mampu namun tidak mau. Ketidakmampuan akan bisa diubah menjadi kemampuan tatkala ada kemauan.
Sebaliknya kemampuan bisa menjadi hilang ketika tidak ada kemauan untuk menggunakan kemampuannya itu untuk melakukan transformasi.
Kelima, memandang P5 adalah kesempatan dan peluang kemanfaatan. Para guru dan pimpinan satuan pendidikan adalah orang pilihan yang menjadi teladan untuk murid-muridnya.
Ketika mereka ini dalam memandang realitas lingkungan dengan pandangan individualis, maka semua realitas diukur dengan ukuran dirinya sendiri.
Ukuran diri sendiri umumnya menggunakan ukuran keuntungan diri sendiri. Apa untungnya, cari masalah, dan berbagai ekspresi individu lainnya.
Ketika guru dan pimpinan adalah orang-orang yang menyadari bahwa dirinya adalah panutan muridnya, maka pandangan individual itu diperluas dengan pandangan sosial (zoon politicon), susila (moral being), dan religius (manusia sebagai hamba), misalnya sebagai wujud syukur.
Dalam perspektif yang lain, sebagaimana dikemukakan oleh Maslow dalam bukunya yang terkenal, “toward a psychology of being”, menyebutkan bahwa aktualiasisi diri merupakan kebutuhan manusia paling tinggi.
Tentu para guru dan pimpinan, mengingat mereka adalah teladan para murid, ketika memandang P5 ini sebagai peluang menebar kemanfaatan lewat perspektif manusia sebagai manusia sosial, susila, dan religius maupun lewat perspektif sebagai wujud aktualisasi diri, maka P5 bisa berharap diimplementasikan.
Sudut pandang atau perspektif itu sangat penting dalam segala hal, termasuk implementasi P5.
Sugiarso adalah Koordinator Papuan Bridge Program PT Freeport Indonesia, Mahasiswa Program Doktor Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya.
Copyright © ANTARA 2023