Oleh: M Danial
BEBERAPA orang berbincang tentang berbagai hal. Duduk santai di bawah pohon di pinggir pantai menikmati angin laut untuk mengurangi kegerahan lantaran suhu panas. Tak perlu heran melihat mereka yang hanya pakai singlet, tapi sesama mereka sudah biasa.
Kumpul bersama itu ibarat forum berbagi informasi sesama warga. Berlangsung santai disertai canda dan tawa, kerap saling ledek. Kadang disertai main domino. Boleh dibilang forum barum-barung (bale-bale, bahasa Mandar) karena tempatnya di barum-barung.
Di antara mereka merupakan pendukung atau simpatisan parpol peserta pemilu 2024. Tak heran mengemuka perbincangan soal politik ala orang desa.
Saya mencoba mendekat dan menyimak perbincangan mereka. Sempat diajak mendekat (bergabung), tapi saya membatasi diri menjadi pendengar saja. Topik yang sedang mereka perbincangkan mengenai caleg (calon anggota legislatif) dan praktik bagi-bagi (uang) sebelum pemilu. Jelasnya soal money politic yang seolah sudah menjadi kelaziman, bahkan keniscayaan setiap kontestasi elektoral di negeri kita.
Praktik money politic atau politik uang tidak hanya terjadi pada pemilu legislatif, Pilpres dan Pilkada. Terjadi pula di Pilkades (pemilihan kepala desa), malah sudah merembes ke Pilkadus (pemilihan kepala dusun) atau Pilkaling (pemilihan kepala lingkungan). Istilah -serangan fajar- dan -nomer piro, wani piro- (nomor berapa berani berapa) sudah menjadi rahasia umum sebagai kalimat sakti jual-beli suara sebelum pemilihan.
Diketahui, money politic adalah upaya mempengaruhi pemilih dengan imbalan berupa uang atau barang. Tidak berlebihan menyebut praktik money politic adalah bentuk pemberangusan hak politik orang lain untuk memilih yang bukan pilihannya.
Fenomena itu dilakukan kepada masyarakat untuk memilih calon tertentu pada pemilu legislatif, DPD, Pilpres atau Pilkada. Pemberian tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga berupa sembako atau barang lain seperti pakaian yang diberi label nama calon berikut pesan-pesan politik.
Money politic sudah menjadi rahasia umum sebagai senjata para elite politik untuk memeroleh suara dan memenangkan kontestasi elektoral. Sasaran utamanya adalah masyarakat yang berpikir pragmatis dan beranggapan pemilu adalah kepentingan elit politik semata. Tidak berpikir soal kemampuan, kualitas dan kompetensi, visi misi dan program calon agar kehidupan rakyat menjadi lebih baik.
Kebanyakan warga yang terseret money politik sadar menjadi obyek para elit politik atau tim suksesnya. Tapi terbuka menerima serangan fajar
dan semacamnya, karena, menurut mereka calon kebanyakan lupa janjinya setelah terpilih.
“Kalau pendapat saya lebih baik ambil (terima) pemberian yang sudah pasti, daripada berharap yang tidak pasti sesudah pemilu. Apalagi banyak(calon) hanya pintar bicara, rajin berjanji, setelah duduk (dilantik) lupa semuanya,” begitu pengakuan di forum barang-barang soal money politic.
“Sangat disayangkan orang terima money politic tapi sadar dijadikan obyek, pilihannya dibarter uang yang nilainya tidak seberapa dibanding harga diri (suara)-nya digadaikan selama lima tahun. Ampun deh,” sentil yang lain.
Praktik money politic yang terjadi setiap pemilu bukan hanya pelanggaran hukum. Tapi sangat jelas pula menciderai kepercayaan terhadap perhelatan yang seharusnya berlangsung jujur.
Sejatinya pemilu mengedukasi rakyat mengenai esensi demokrasi dan kedaulatan rakyat. Pemilu bukan sekedar rutinitas lima tahunan untuk suksesi atau pergantian pemimpin, tapi mengorbankan kebebasan rakyat menentukan haknya secara bebas sebagai pemilik kedaulatan.
Fenomena lain soal caleg dan potensi money politic. Pengakuan seorang tokoh masyarakat di sebuah persamuhan. Pemilih di sebuah wilayah membuat kriteria untuk mendeteksi caleg yang punya potensi
bagi-bagi uang alias punya isi tas.
Katanya, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap para caleg, ada guyonan soal sarung soal isi tas, terlepas dari kualitas.
“Caleg yang pakai sarung mengindikasikan kurang persiapan bagi-bagi uang,” katanya.
Apa hubungan sarung dengan (kesiapan) bagi-bagi uang? Menurutnya, sarung tidak memiliki kantong untuk menyimpan uang.
Sungguh fenomena money politic makin mencemaskan. Bahaya ta’. (*)