PALU, RADAR SULBAR – Konflik Agraria di industri kelapa sawit terus mengemuka di berbagai wilayah di Indonesia ditengah upaya pemerintah dalam mengembangkan investasi dan ekonomi. Beroperasinya perusahaan kelapa sawit tanpa mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) seringkali memicu konflik dengan masyarakat, padahal sepanjang perusahaan tersebut telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) maka berhak untuk beroperasi.
“UU Perkebunan 39/2014 pasal 42 secara tegas mengatur syarat berkebun adalah mempunyai IUP atau HGU kemudian diubah putusan MK No. 138/2015 menjadi mempunyai IUP dan HGU. Tetapi harus dipahami bahwa putusan MK ini hanya berlaku perusahaan yg IUPnya terbit setelah putusan MK tahum 2015 sedangkan bagi perusahaan yg IUP nya terbit sebelum putusan MK tahun 2015 syaratnya adalah cukup mempunyai IUP,” tegas pakar hukum kehutanan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”, Hotman Sitorus dalam workshop wartawan yang diadakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bertajuk “Konflik Agraria dan Implikasi Hukum di Indonesia”, pada Jumat (20/10/23).
Hotman menjelaskan terdapat sebuah proses yang panjang dalam pembuatan HGU, setelah diterbitkannya izin lokasi (Ilok) lalu dilanjutkan dengan proses penerbitan IUP maka secara aturan semua pihak yang sebelumnya memiliki lahan tersebut sudah tidak memiliki hak dan hak tersebut telah beralih pada pemilik IUP.
“Jika lahan tersebut sebelumnya dimiliki oleh masyarakat, lalu kemudian perusahaan telah memiliki IUP maka berarti perusahaan tersebut telah menjalankan kewajibannya kepada pemilik sebelumnya yakni dengan membayar ganti untung sehingga perusahaan kemudian menindaklanjuti ILok menjadi HGU,” imbuh Hotman.
Lebih lanjut Hotman juga menyoroti berbagai kasus konflik agraria yang disebabkan oleh kisruh akibat banyaknya Surat Kepemilikan Tanah (SKT) yang dimiliki masyarakat. Menurutnya, SKT yang dikeluarkan oleh pemerintah desa tersebut harus ditertibkan karena tidak hanya berimplikasi pada semakin lamanya proses alih fungsi lahan namun dikhawatirkan juga memicu terjadinya konflik antar masyarakat.
“Saya dengar beberapa kasus perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah proses pembuatan HGU berlarut-larut bahkan belasan tahun karena SKT terus bermunculan. Dalam satu kasus ada diterbitkan SKT 16.000 ha di atas lahan 7.200 ha? Ini harus dipertanyakan status kepemilikannya!” tegas Hotman.
Senada dengan Hotman, Ketua Bidang Hukum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Muhtar Tanong menilai perlu langkah tegas dan cepat dalam menyelesaikan persoalan agraria perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah. Menurutnya ada dua hal yang harus diclearkan dalam alih fungsi lahan ini pertama apakah lahan tersebut adalah areal penggunaan lain (APL) yang mana biasanya dimiliki masyarakat, maka BPN yang berwenang mengeluarkan sertifikatnya setelah proses dengan masyarakat selesai. Kedua, jika lahan tersebut awalnya adalah masuk kawasan hutan maka ranahnya kehutanan yang berwenang.
“Jika dikatakan masyarakat memiliki lahan tersebut, kita harus lihat apakah kepemilikannya berupa SHM, Girik atau pengakuan adat? Ini harus jelas dengan ukuran-ukuran yang masuk secara legal. Jika masyarakat tidak bisa memperlihatkan kepemilikan yang sah secara legal, besar kemungkinan yang dimilikinya bukan lahannya, namun sesuatu yang ada di atasnya, misal tanamannya, bangunannya dan ini bisa jadi lahannya dimiliki negara,” jelas Muhtar.
“Harusnya tim penerbitan Ilok yakni pemerintah harus bisa segera menyelesaikan ini agar bisa memberikan opsi kepada investor apakah investor mau membayar tanah yang sudah ada haknya atau jika masyarakatnya tidak mau melepas maka dilkeluarkan dari ilok yang digunakan sebagai usulan dikeluarkannya HGU,” imbuh Muhtar.
Ketua GAPKI Cabang Sulawesi, Dony Yoga dalam sambutannya menegaskan, keseriusan pelaku industri kelapa sawit yang beroperasi di Sulawesi untuk mematuhi regulasi yang berlaku dan terus memberikan kontribusi bagi masyarakat dan pembangunan wilayah Sulawesi. Untuk itu Dony berharap terdapat pemahaman yang menyeluruh oleh semua pemangku kepentingan terkait hukum atas berbagai persoalan perkebunan kelapa sawit di Sulawesi agar terjadi diskusi yang membangun antar pihak. (*)