Oleh : M Danial
SEJAK beberapa bulan belakangan setiap kita keluar rumah pasti bertemu banyak politisi dan bacaleg (bakal calon legislatif). Bukan bertemu secara fisik, melainkan gambar pada baliho atau poster.
Ketemunya bukan di kantor, gedung, atau tempat acara dan semacamnya. Tapi di berbagai tempat: pinggir atau persimpangan jalan, di pagar masjid atau bangunan lainnya. Atau di pepohonan, di tiang listrik, tiang telepon, jembatan, atau tempat lain yang mudah terlihat.
Masa kampanye Pemilu 2024 telah ditetapkan waktunya mulai 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024. Jadwal tersebut tiga hari setelah penetapan calon pada 25 November 2023. Yaitu DCT (daftar calon tetap) DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/ kota, dan Capres dan Cawapres.
Baliho, poster, billboard atau media lainnya yang sudah beberapa bulan bertebaran di berbagai tempat dikelaim sebagai bentuk sosialisasi. Tapi bentuk kegiatannya mirip kampanye. Yang membedakan, alat peraga sosialisasi pada umumnya masih sebatas gambar dan slogan bacaleg, serta nomor urut parpol.
Belakangan bermunculan alat peraga dengan gambar jelas menunjuk nomor urut dan nama caleg. Gambar tersebut maknanya jelas bentuk ajakan memilih atau mencoblos. Banyak yang memaknainya merupakan bentuk kampanye, karena mengajak bukan lagi sosialisasi.
Sepintas sosialisasi dan kampanye beda-beda tipis alias beti. Batasannya membikin bingung orang awam, pun orang parpol. Tak heran selalu menjadi perdebatan setiap pemilu.
Secara umum pengertian sosialisasi adalah kegiatan yang dilakukan sebelum masa kampanye. Sedangkan kampanye dilakukan secara terjadwal pada masa kampanye oleh peserta pemilu, tim kampanye, juru kampanye atau pelaksana kampanye pemilu.
Hari ke hari menuju Pemilu 2024 pemasangan alat peraga pemilu makin ramai. Baliho, poster, spanduk, dan alat promosi politik lainnya terus bertambah, tanpa sedikitpun mencerminkan estetika atau keindahan. Lingkungan makin penuh material yang akan menjadi sampah dan mengotori lingkungan.
Pemasangan alat peraga sosialisasi dan kampanye politik merupakan keniscayaan setiap menghadapi pemilu atau Pilkada. Tapi saya belum pernah melihat baliho caleg yang berisi pesan soal lingkungan atau penegakan disiplin kebersihan.
Sependek ingatan saya, beberapa daerah memiliki aturan mengenai pemasangan alat peraga kampanye dan / atau alat promosi komersil. Salah satunya Kabupaten Polewali Mandar, telah memiliki Perbup (Peraturan Bupati) yang menjadi acuan pemasangan alat peraga kampanye pemilu dan Pilkada 2018.
Apakah Perbup tersebut dianggap tidak diperlukan lagi, atau perlu dikaji ulang atau di-update karena sudah efektif untuk kondisi sekarang? Entahlah! Namun senyatanya alat peraga politik (pemilu dan Pilkada), pendidikan, komersil dan hiburan bertebaran tak beraturan. Di perkotaan maupun perdesaan.
Pohon berbuah poster bergambar caleg sudah menjadi fenomena di seluruh daerah setiap menjelang pemilu atau Pilkada. Pun perhelatan politik lainnya. Pohon-pohon di jalan protokol berbuah poster Caleg. Tiang listrik dan tiang telepon di jalan lingkungan berubah menjadi tiang pajang alat peraga politik.
Andai pohon bisa bicara, dipastikan selalu gelisah menghadapi penderitaan setiap menjelang pemilu. Batang bahkan rantingnya akan menjadi sasaran pemasangan wajah-wajah “pengharap” dukungan suara untuk Pemilu.
Berbagai organisasi peduli lingkungan mengecam tindakan yang menyiksa makhluk hidup. Bagaimanapun, pepohonan dan tanaman adalah mahluk hidup meski tidak bisa bergerak.
Andai pepohon bisa berbicara dan memiliki hak suara dalam Pemilu, pasti akan menggalang dukungan sambil berteriak: “Jangan pilih yang menyakiti pohon dan mengotori lingkungan.” Karena perilaku tak bertanggungjawab, kini membuat banyak pohon menangis dan merintih. (*)