MAMUJU, RADAR SULBAR – Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Sulawesi Barat, kembali mengeluarkan putusan yang bertentangan dengan prinsip profesional, berkepastian hukum dan jujur. Dan tindakan ini dapat mengurangi kepercayaan publik akan eksistensi lembaga ini dalam mengawasi pemilu serentak 2024 mendatang.
Dalam ketentuan Pasal 117 ayat (1) huruf i Undand-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang penyelenggara pemilihan umum disebutkan bahwa salah satu syarat untuk menjadi calon anggota Bawaslu, Bawastu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan dan Panwaslu Kelurahan/Desa, serta Pengawas TPS adalah mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun pada saat mendaftar sebagai calon.
“Ketua Network For Indonesian Democratic society (Netfid) Sulbar, Sulfian Syam, mengatakan Persyaratan menjadi penyelenggara pemilu, diantaranya tidak berpartai politik, ini sangat jelas diatur dalam undang-undang, tidak membenarkan seseorang yang berafiliasi dengan partai politik ditetapkan sebagai penyelenggara pemilu” jelasnya.
Terhadap laporan pengaduan kode etik sangat jelas bukti yang riil, Bahwa terlapor saat mendaftar sebagai calon anggota Bawaslu Majene Pada Bulan Mei 2023, yang bersangkutan terdaftar sebagai Bacaleg dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dan ini diperkuat dengan pengakuan I Komang Budi, ketua DPD PDIP Kabupaten Mamuju Tengah, yang dirilis beberapa media.
Untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan pelapor, Bawaslu Provinsi Sulawesi Barat harus melakukan klarifikasi pihak terkait yakni ketua DPC PDIP Kabupaten Mamuju Tengah dan KPU Mamuju Tengah atas kebenaran pencalonan sdr. Yanti sebagai Bacaleg PDIP Kabupaten Mamuju Tengah. “Ada Kewenangan Bawaslu memastikan kebenaran data yang masuk ke KPU Mamuju Tengah, kalau sudah dihapus, pasti ada histori penghapusannya. Kalau itu tidak, maka Bawaslu Provinsi Sulawesi Barat patut diduga melakukan “pemufakatan jahat” dalam menindaklanjuti dua laporan pengaduan masyarakat atas adanya anggota Bawaslu Kabupaten Majene yang terindikasi kuat adalah kader partai politik,” ucapnya.
Lanjut Sulfian Syam, Bawaslu Provinsi Sulawesi Barat menyalahi kewenangannya dalam mengambil keputusan menyimpulkan bahwa laporan yang diterima bukan pelanggaran atas dugaan pelanggaran kode penyelenggara pemilu yang diterima dari pelapor.
“Ini dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara, harusnya laporan itu diteruskan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu untuk dilakukan verifikasi formil dan material apakah layak sidang atau tidak. Ini bukan dugaan pelanggaran administrasi yang menjadi kewenangan penuh pengawas pemilu untuk memutuskannya,” ujarnya.
Dalam Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran pemilihan umum, disebutkan Bahwa Bawaslu Provinsi merekomendasikan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu yang dilakukan oleh Bawaslu Kabupaten kepada DKPP dengan melampirkan salinan berkas pelanggaran berupa formulir Laporan, kajian dan bukti. Bukan menyimpulkan cukup alat bukti atau tidak. Olehnya itu kami menganggap bahwa BAWASLU Provinsi Sulawesi Barat “Abuse Of Power” serta mengambil alih kewenangan DKPP. (ajs)