Oleh: M Danial
RIBUAN nama bacaleg dalam DCS (daftar calon sementara) Pemilu 2024 telah diumumkan KPU pada 19-23 Agustus lalu. Bacaleg dalam DCS DPR RI sebanyak 9.199 orang dari 18 parpol dan 674 bakal calon DPD RI. Selan itu puluhan ribu bacaleg dalam DCS DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota se – Indonesia.
Seyogianya nama-nama bacaleg diketahui secara luas oleh masyarakat, supaya memiliki referensi untuk mencoblos pada 14 Februari 2024 mendatang.
Sayangnya pengumuman DCS tidak banyak diketahui oleh masyarakat. Sangat terbatas yang bisa mengakses media pengumuman DCS tersebut, yang melalui media massa maupun media sosial. Tidak heran sangat minim respon masyarakat untuk menanggapi atau mengkritisi DCS, itupun kalau ada.
Minimnya tanggapan masyarakat terhadap DCS boleh jadi pula lantaran apatisme mereka jauh melampaui semagat para bacaleg mengejar kursi lembaga legislatif. Semangat yang belum tentu seiring dengan kemampuannya menyandang status sebagai anggota legislatif, jika terpilih. Termasuk untuk membuktikan komitmen keberpihakan yang berjiwa kerakyatan.
Pengumuman DCS sudah berlalu. Tapi masyarakat masih punya waktu mengenali dan mencermati DCT (daftar calon tetap) yang akan ditetapkan dan diumumkan mulai 4 November nanti. DCT berisi daftar nama caleg setiap Dapil yang akan tercantum dalam surat suara pemilu 2024.
Memang tidak mudah untuk mencermati satu-persatu ratusan nama caleg yang jumlahnya sebanyak jumlah kursi setiap Dapil (daerah pemilihan). Tapi penting untuk menelurusi rekam jejak caleg agar masyarakat tidak memilih orang yang masalah.
Mencermati daftar caleg setidaknya mengetahui dan mengklasifikasi caleg yang baru dan petahana atau inkumben, serta caleg yang mau naik kelas ke jenjang lebih tinggi. Menelusuri rekam jejak caleg petahana bisa melihat kiprahnya selama menjadi anggota dewan, apalagi sudah ber periode-periode.
Pemilih cerdas adalah yang menentukan pilihan terhadap caleg yang berkarakter, memiliki kualitas berpikir dan berkomitmen terhadap kepentingan rakyat. Bukan yang selama masa jabatan sebagai anggota dewan semata membanggakan status dengan sebutan yang terhormat. Lengkap dengan atribut yang mentereng pula. Sedangkan tanggungjawabnya kepada rakyat yang diwakili terabaikan.
Sudah bukan rahasia mengenai perilaku oknum anggota dewan yang minim rasa tanggung jawab terhadap tugas dan kewajibannya. Salah satu contoh kecil soal kehadiran. Sangat sering terjadi rapat paripurna tertunda atau diskors menunggu korum.
Soal ketidakdisiplinan oknum anggota dewan melaksanakan tugas, seperti menghadiri rapat atau kepatuhan pada kode etik, sangat jarang kita dengar pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Kehormatan DPRD sebagai penjaga kode etik dan kehormatan anggota dewan.
Tidak sedikit anggota yang pandai merangkai kalimat indah, tapi tidak memiliki komitmen yang bisa menjadi pegangan. Terutama komitmen menegakan hukum dan peraturan, termasuk pemberantasan korupsi. Di sisi lain tidak sedikit masyarakat gampang terpukau kepentingan sesaat. Pragmatis.
Masyarakat pemilih bukanlah pelengkap untuk meramaikan kontestasi demokrasi lima tahunan. Melainkan sebagai pemilik kedaulatan. Makanya perlu mengetahui dan memperoleh edukasi politik yang mencerahkan.
Masyarakat perlu terus diingatkan agar tidak menggadaikan hak kedaulatannya karena tergoda money politik caleg yang mengandalkan kekuatan uang.
Kita tidak bisa berharap banyak DPR / DPRD periode mendatang akan lebih baik kualitasnya. Apalagi proses pencalonannya karena kedekatan dengan elit partai. Terpilihnya pun lantaran faktor uang dan ketenaran atau popularitas belaka. Sulit membayangkan perbaikan kinerja mereka sebagai wakil rakyat di masa datang.
Menjelang pemilu 2014 lalu, para aktivis dan penggiat demokrasi di Makassar gencar menyerukan kepada masyarakat mewaspadai dan tidak memilih caleg bermasalah yang diistilahkan caleg Cumi.
Cumi identik dengan salah satu makanan laut yang mengeluarkan cairan berwarna hitam. Warna hitam identik dengan masalah. Caleg cumi bisa juga dimaknai cuma memikirkan dirinya sendiri. (*)