Menumbuhkan Jiwa Menulis Siswa

  • Bagikan
Foto Bersama. Narasumber, Jasman Rantedoda (tengah) foto bersama dengan guru pendamping dan siswa anggota Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) SMA Negeri 1 Tapalang, usai menyampaikan materi pada pelatiihan menulis, di SMA Negeri 1 Tapalang, Sabtu malam, 12 Agustus 2023.

SEKIRA 20 siswa terkumpul dalam ruangan berukuran 8×12 (perkiraan) yang memanjang di sisi timur kawasan gedung SMA Negeri 1 Tapalang. Mereka adalah Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), mengikuti pelatihan menulis didampingi tiga atau empat orang tenaga pendidik.

Oleh: Jasman Rantedoda

Sabtu malam 12 Agustus, pukul 20.00 (Wita), usai makan malam, mereka bersiap menerima materi pelajaran dasar-dasar menulis.

Saya yang didaulat menjadi narasumber memulai dengan mengutip, Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama dia tidak menulis, dia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian,”. Begitulah Pram, melihat betapa menulis itu penting.

Sekilas, kegiatan menulis tampak mudah seperti halnya berbicara langsung. Nyatanya tak semudah membaca pernyataan Pram. Bahkan ada yang menyerah sebelum memulainya. Mereka yang menyerah di awal, boleh jadi karena dirumitkan oleh pikiran-pikirannya sendiri, sebab menulis sejatinya adalah memindahkan data dan informasi dalam kepala ke halaman kosong di (aplikasi) Word, atau menggoreskan dengan tinta ke kertas kosong. Sesederhana itu. Sebagaimana halnya berbicara; memindahkan data di kepala ke dalam tuturan.

Seseorang yang tidak terampil berbicara akan mengalami banyak sendatan dalam tuturannya, akan dijeda dengan, ummm, eee, dan sebagainya. Celakanya, berbicara adalah aktivitas spontan (penyampaian langsung) yang tidak memiliki ruang lapang untuk koreksi sebelum sampai pada khalayak.

Berbeda dengan berbicara, menulis punya kelonggaran. Penulis setiap saat bisa melakukan editing sebelum tulisannya dilepas ke khalayak.

Yang harus dicatat bahwa menulis, demikian juga berbicara adalah kecakapan atau keterampilan dan tidak ada manusia yang terampil sejak lahir. Lantas dari mana diperoleh? Teterampilan diperoleh dari proses latihan secara rutin dan konsisten atau lewat pengalaman yang bervariasi. Dengan demikian, tidak mustahil bagi setiap orang untuk menjadi terampil.

Paparan di atas menjadi pengantar diskusi dalam pelatihan menulis bagi Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) SMA Negeri 1 Tapalang, Sabtu malam 12 Agustus. Sebanyak 20 siswa dididik khusus dan diharapkan menjadi “influencer” bagi sebayanya. Menularkan virus menulis dan mengakrabi bacaan walau tidak seakrab gadged.

Dalam gempuran platform game daring, sekolah memang harus kreatif menciptakan alternatif sebagai penyeimbang dan pengalih, agar siswa tak ditelan mentah-mentah kemajuan teknologi telepon genggam dengan berbagai variasi godaannya.

Selain olahraga dan kesenian, pilihan lainnya adalah menulis. Menjembatani pikiran dan imajinasi siswa melalui serangkaian program pelatihan hingga menjadi kumpulan diksi dalam lembaran-lembaran.

Namun, langkah itu (pelatihan menulis) harus ditindaklanjuti dengan penyediaan medianya, –saran dan prasarana– seperti mengaktifkan majalah dinding (mading), membikin jurnal sekolah, kompetisi menulis antar kelas/siswa, kemah literasi dan sejenisnya. Dan yang tak kalah penting adalah sikap pemuliaan tulisan, menghargai setiap karya tulis yang dihasilkan siswa dengan penghargaan yang selayaknya.

Untuk para guru, bisa memotivasi siswa dengan berbagai cara, antara lain men-sugesti melalui tulisan. Siswa akan tersugesti ketika mendapatkan tulisan gurunya dimuat di media massa, seperti surat kabar, media cyber atau sekadar blog. Juga bisa memberi penguatan positif dengan tidak mengubah kesukaan siswa, misalnya kesukaan siswa menggunakan gadged tidak harus dilarang, tetapi diberi penguatan positif agar menyelipkan kebiasaan menulis di dalamnya, melalui facebook, blog, instagram atau twitter.

Lainnya, mengintegrasikan mata pelajaran dengan kegiatan menulis. Setiap guru bidang studi –tidak harus guru bahasa Indonesia– bisa memberikan tugas seperti meringkas mata pelajaran, membuat rangkuman, meresensi buku dan sebagainya.

Terakhir, menyediakan sarana membaca dan menulis yang nyaman di lingkungan sekolah. Jika perlu, satu ruangan khusus ber-AC, bagi siswa penulis dan pembaca. Loh, kan ada perpustakaan. Ia, kalau perpustakaannya tertata rapi ber-AC dengan buku tersusun rapi. tetapi kalau hanya dilengkapi debu dengan buku berantakan tak terklasifikasi, maka lebih baik siapkan ruangan khusus, sambil benahi perpustakaannya.(***)

  • Bagikan