JAKARTA, RADARSULBAR.CO.ID – Usia Khaula masih delapan bulan ketika sang ibunda, Asfahany atau Fany (25), mendeteksi ada risiko stunting atau gagal tumbuh pada si anak.
Sejak memulai tahapan makanan pendamping air susu ibu (MPASI) ,usai mendapat ASI eksklusif selama enam bulan, Fany menceritakan putri keduanya kurang tertarik melihat makanan dan tidak memiliki nafsu makan yang baik, sehingga akhirnya bermasalah dengan berat badan.
Ketika menginjak usia delapan bulan, berat badan putrinya pun tidak kunjung naik atau stagnan, hingga pada usia 24 bulan masih berkisar 8 kilogram.
Berdasarkan tabel standar antropometri, anak yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan, balita perempuan usia 24 bulan seharusnya memiliki berat badan di atas 9 kilogram, sehingga status gizi khaula, saat itu dikategorikan gizi buruk dan termasuk stunting.
Bagi Fany, stunting menjadi permasalahan besar terhadap proses tumbuh kembang putrinya.
Anak perempuan yang stunting atau tengkes berisiko melahirkan anak yang stunting pula, sehingga kasus itu menjadi semacam “lingkaran setan”.
Hal itu karena saat tumbuh remaja, anak stunting akan mengalami malnutrisi atau anemia karena kekurangan zat besi. Saat menjadi ibu, ia juga berpotensi melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah yang bisa berujung pada stunting. Oleh sebab itu, Fany menilai rantai kasus stunting harus segera diputus, dimulai dari putrinya sendiri.
Selain jangka panjang, dampak jangka pendek stunting adalah anak akan mudah sakit dan mengalami gangguan kesehatan. Selain itu, anak stunting juga mengalami perkembangan kognitif, motorik, dan verbal yang kurang optimal dibandingkan anak seusianya.
Kasus stunting memang tidak bisa hanya dilihat dampaknya saat anak masih balita, namun juga terlihat saat ia berada di bangku sekolah dan menyerap materi pelajaran.
Fany juga berupaya untuk tidak tutup mata melihat anaknya yang aktif dan periang. Yang ia ketahui, balita yang aktif bermain juga bisa terindikasi stunting.
Oleh sebab itu, ia pun memulai perjuangannya untuk mengeluarkan Khaulah dari kategori stunting dengan memeriksakan putrinya ke dokter spesialis anak.
Terapi selang nasogastrik
Jalan Fany untuk memperbaiki gizi Khaulah memang tidak mudah. Sejak memeriksakan putrinya karena stunting, dokter memberikan rujukan untuk melakukan tes “mantoux” dan pengecekan darah.
Dari rangkaian tes dan konsultasi dengan sejumlah dokter spesialis anak, akhirnya diketahui Khaulah menderita TBC dan mengalami anemia defisiensi zat besi (ADB).
Rasa sesal menyelimuti Fany karena seharusnya ia bisa mendeteksi hal itu lebih dini agar pengobatan bisa dimulai lebih awal.
TBC dan ADB merupakan penyakit tersembunyi (silent disease) yang tidak bisa dilihat secara kasat mata pada anak. Anak yang mengidap TBC dan ADB terlihat baik-baik saja dan beraktivitas secara normal tanpa gangguan.
Meski telah mendapat pengobatan selama berbulan-bulan karena TBC, berat badan Khaulah juga tidak kunjung naik signifikan.
Akhirnya pada dokter kelima yang ditemuinya, Khaulah disarankan untuk mengonsumsi susu bernutrisi melalui selang nasogastrik (NGT) atau yang biasa dikenal dengan selang makanan.
Balita 24 bulan itu pun harus terbiasa dipasangkan selang melalui hidung menuju lambung karena ia tidak bisa mengonsumsi langsung susu bernutrisi itu melalui mulut.
Setidaknya dalam satu hari, Khaulah harus meminum 4 botol atau 800 mililiter susu nutrisi khusus. Tentunya, terapi menaikkan berat badan ini tidaklah murah karena harga 1 botol susu tersebut mencapai Rp30 ribu.
Artinya, Fany dan suami harus merogoh kocek sampai Rp3,5 juta untuk pemberian susu selama satu bulan dan perawatan mengganti selang makanan di fasilitas kesehatan.
Selama satu bulan dengan terapi NGT ini, berat badan Khaulah pun bertambah signifikan, yakni 1 kilogram dalam 1 bulan atau menjadi 9 kilogram pada usia 26 bulan.
“Isi piringku”
Dokter spesialis anak RSU Bunda Jakarta Dicky Iskandar menegaskan bahwa stunting dapat dicegah sebelum 1.000 hari pertama anak, yang dimulai selama masa kandungan hingga balita berusia 2 tahun.
Setelah dua tahun, menjadi kerja keras bagi orang tua untuk memperbaiki kondisi anak yang stunting karena usia emas perkembangan otak anak terjadi saat anak berada dalam kandungan hingga berusia 2 tahun. Saat usia 2 tahun, berat otak anak sudah mencapai 75 persen berat otak orang dewasa.
Dicky juga menampik bahwa ada orang tua yang menggiatkan anaknya berenang agar menambah tinggi badan dan tidak stunting. Padahal, stunting tidak bisa diobati dengan olahraga sekali pun.
Menurut dia, satu-satunya solusi dari stunting adalah memperhatikan konsep “isi piringku” dengan memberikan protein hewani.
Orang tua berperan untuk memberikan asupan makanan bergizi seimbang, terdiri dari karbohidrat, protein hewani, sedikit protein nabati dan buah serta sayur secukupnya.
Bahkan, jika anak sudah berisiko stunting, intervensi bisa dilakukan dengan menambahkan protein hewani, sehingga makanan menjadi padat nutrisi dan berkalori tinggi.
Senada dengan itu, Ahli Gizi Masyarakat Tan Shot Yen menegaskan konsep “Isi Piringku” yang digalakkan oleh Kementerian Kesehatan sebenarnya tidak dikhususkan pada anak saja, melainkan menjadi kebiasaan orang tua yang nantinya dapat diterapkan pada anak.
Jika konsep isi piringku dilakukan semasa ibu hamil, berat janin akan meningkat karena asupan protein lah yang dibutuhkan oleh janin.
Konsep isi piringku yang beragam akan karbohidrat, protein, hingga serat, ini juga harus diaplikasikan dalam menu MPASI. Para ibu juga tidak perlu repot untuk membuat menu khusus MPASI, karena menu yang baik adalah menyesuaikan dengan makanan keluarga.
Jika ibu ayahnya makan sayur asem dan ayam bakar, pisahkan saja bahan ayam dan labu siam tersebut untuk dijadikan menu MPASI.
Selain memperhatikan gizi ibu, bayi juga harus mendapatkan hak inisiasi menyusui dini (IMD) saat baru lahir, sehingga akan memudahkan ibu menyusui anak eksklusif selama 6 bulan dan diteruskan hingga 2 tahun.
Kasus stunting menjadi perhatian utama Presiden Joko Widodo untuk mempersiapkan generasi emas 2045 dengan SDM Indonesia yang berkualitas dan kompeten.
Kasus stunting juga ada di ibu kota. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada sebanyak 798.107 balita di DKI Jakarta tergolong rawan gizi.
Dari data 798 ribu balita tersebut, ada sekitar 25 ribu balita yang ditimbang kembali dan hasilnya menunjukkan sekitar 36 ribu dikategorikan stunting.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupaya merealisasikan program Jakarta Beraksi dengan menggandeng CSR BUMD hingga swasta untuk memberikan asupan makanan bergizi pada balita berisiko stunting.
Selain itu, Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono juga berperan menjadi orang tua asuh dari anak terindikasi stunting, yang diikuti oleh pejabat ASN lainnya.
Meskipun demikian, di balik sejumlah upaya tersebut, orang tua merupakan garda terdepan dalam ikut menangani dan mencegah kasus stunting.
Memiliki kesadaran dan informasi soal stunting menjadi awal bagi orang tua untuk membangun generasi cerdas dan kompeten. Orang tua juga dapat memanfaatkan posyandu untuk menimbang berat badan dan mengukur panjang badan anak, sehingga memastikan tumbuh kembangnya berada dalam kurva yang sesuai.
Bertebarnya informasi serta fasilitas posyandu yang memberikan pendamping makanan tambahan (PMT), seharusnya dapat menghindarkan buah hati dari masalah gizi. (ant)