Oleh: M Danial
Peringatan Hari Anak Nasional tahun 2023 dilaksanakan setiap 23 Juli. Tahun ini merupakan peringatan ke-39 sejak penetapan Hari Anak Nasional melalui Kepres Nomor 44/1984. Tanggal 23 Juli dipilih karena berkaitan dengan pengesahan UU tentang Kesejahteraan Anak Nomor 4 Tahun 1979 pada tanggal tersebut.
Peringatan Hari Anak setiap tahun selalu dibarengi pemberian penghargaan ke banyak daerah. Provinsi atau kabupaten/kota Layak Anak. Kriterianya banyak, yang menandakan perhatian dan kepedulian tinggi terhadap anak.
Penganugerahan penghargaan beriringan pula dengan berbagai persoalan anak yang terus bermunculan.
Pernikahan anak di bawah umur atau pernikahan dini masih marak terjadi. Kekerasan terhadap anak termasuk pelecehan dalam berbagai bentuk masih menjadi fenomena di banyak tempat. Pemenuhan hak anak di bidang pendidikan dan kesehatan masih menjadi persoalan yang menyebabkan anak tidak sekolah dan menderita stunting.
Komnas Perempuan mencatat jumlah pernikahan dini sepanjang tahun 2021 sebanyak 59.709 kasus yang diberikan dispensasi menikah oleh pengadilan. Jumlah tersebut menurun sedikit dari tahun 2020 sebanyak 64.211 kasus, namun masih lebih tinggi dibanding tahun 2019 sebanyak 23.126.
UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengatur persyaratan untuk menikah yaitu mencapai umur 19 tahun. UU tersebut mengatur dispensasi menikah yang dapat diberikan oleh pengadilan agama kepada calon mempelai yang belum berusia 19 tahun.
Pihak orang tua pihak pria atau pihak wanita mengajukan permohonan dispensasi kepada pengadilan untuk anaknya yang belum berusia 19 tahun dengan alasan sangat mendesak. Sedangkan alasan sangat mendesak harus disertai bukti-bukti yang cukup.
Sejumlah faktor penyebab pernikahan dini dan mengajukan permohonan dispensasi ke pengadilan agama. Yaitu situasi mendesak karena anak perempuan mengalami “kecelakaan” alias hamil di luar nikah atau kehamilan yang tidak diinginkan. Ada pula orang tua khawatir karena anaknya sudah saling mencintai dapat melanggar norma agama dan sosial. Selain itu, orang tua yang khawatir anak gadisnya menjadi perawan tua.
Penyebab lain, pernikahan di bawah umu seolah menjadi jalan keluar untuk mengatasi kesulitan ekonomi keluarga.
Beberapa pihak menyebut penyebab pernikahan dini karena bermaksud memperbaiki perekonomian keluarga. Alasan tersebut banyak dilontarkan oleh orang tua pihak perempuan dan perempuan sendiri.
Rendahnya tingkat pendidikan individu sangat mempengaruhi terjadinya pernikahan di usia muda. Pendidikan merupakan faktor penting bagaimana seseorang memandang dunianya dan melihat dirinya sendiri. Pendidikan bukan hanya di lembaga formal, tapi juga dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial.
Faktor keluarga merupakan juga penyebab terjadinya pernikahan dini. Hal yang wajar jika orang tua sangat berperan menentukan urusan pernikahan anaknya. Jika orang tua tidak mampu mengatasi permasalahan yang dialami keluarganya dengan baik, maka sangat mungkin mengambil keputusan yang bisa menimbulkan permasalahan baru dan merugikan banyak pihak.
Faktor adat istiadat juga berpengaruh terhadap terjadinya pernikahan dini. Bahkan anak yang sebenarnya belum siap berumah tangga, terpaksa mengikuti kehendak orang tua dan tetua adatnya. Selain itu faktor media massa yang berperan penting membentuk dan mengubah perspektif masyarakat luas.
Banyak anak putus sekolah tidak salah kalau disebut terjadinya kelalaian terhadap pemenuhan hak anak di bidang pendidikan. Penyebabnya secara umum karena faktor ekonomi. Pendidikan orang tua berimplikasi pula pada minat dan motivasi anak untuk belajar. Penyebab lain anak putus sekolah adalah faktor lingkungan.
Perekonomian keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi nasib dan masa depan keluarga. Jika perekonomian terganggu, kehidupan keluarga pun akan terpengaruh, termasuk kebutuhan sehari-hari dan pendidikan.
Penyebab lain anak putus sekolah karena malas. Faktor malas menyebabkan anak dari keluarga yang berkecukupan pun putus sekolah. Anak yang pada usia dini terpaksa atau terbiasa bekerja dan memperoleh uang sendiri, membuatnya kehilangan minat bersekolah.
Saya teringat seorang anak keluarga petani kakao: biar tidak sekolah yang penting maccikola’ (berkebun coklat). Bersekolah untuk dapat pekerjaan dan menghasilkan uang, berkebun coklat pun akan mendapat uang walau tidak bersekolah.
Penyebab lain anak putus sekolah adalah ketidakharmonisan orang tua.
Kekerasan di lingkungan sekolah merupakan juga pemicu terjadinya anak putus sekolah. Kekerasan kerap terjadi dalam bentuk fisik maupun fisikis seperti perundungan, yang terjadi antarsesama peserta didik maupun oleh orang dewasa di lingkungan sekolah.
Di Sulawesi Barat angka pernikahan dini masih sangat tinggi: 17,71 persen. Angka tersebut tertinggi dari seluruh provinsi di Indonesia dan menjadi penyumbang tingginya angka stunting. Selain itu, menyebabkan rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM).
Sedangkan anak putus sekolah, BPS Sulawesi Barat menyebut jumlahnya 48 ribu atau 10,52 persen. Tingginya jumlah anak putus sekolah saling terkait pula dengan pernikahan dini, stunting, dan kesimiskinan ekstrem yang merupakan permasalahan pembangunan di provinsi ini.
Semoga peringatan Hari Anak tahun 2023 menjadi momentum kepedulian yang sesungguhnya untuk yang terbaik bagi kepentingan terbaik anak. Selain mengatasi pernikahan dini, anak putus sekolah dan stunting. Sangat penting juga melindungi dan menghindarkan anak dari eksploitasi politik. Dengan alasan apapun jangan melibatkan anak-anak dalam kampanye Pemilu dan Pilkada 2024. (*)