Oleh M Danial
melontar jumroh,
Wukuf di Arafah pada 10 Zulhijjah merupakan simbolisasi saat manusia dibangkitkan di Padang Mahsyar kelak, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya selama hidup di dunia.
Setelah wukuf, jamaah akan melaksanakan ritual haji lainnya, yaitu mabit (menginap) di Muzdalifah sebelum menuju Mina untuk melontar jumrah.
Melontar jumrah adalah simbolisasi melempar sifat-sifat buruk dalam diri manusia. Menghempaskan sifat buruk sekuat mungkin dan menggantinya dengan sifat baik.
Ritual melontar jumrah merupakan salah satu yang selalu diingat dan dikenang para jamaah haji setelah kembali pada kehidupan normal.
Saya teringat pengalaman berhaji pada 2018. Tergabung dalam klote 28/UPG. Di Arafah selepas maghrib, ratusan bus melayani pengantaran jamaah ke Muzdalifah secara taraddudi (bergiliran). Di Muzdalifah jamaah berkumpul di hamparan yang luas beratap langit.
Sebagian jamaah memanfaatkan waktu untuk beristirahat. Namun tidak sedikit yan mengisi waktu memungut batu yang akan digunakan melontarkan jumrah di Mina.
Batu, tepatnya kerikil sebenarnya sudah disiapkan oleh penyelenggara haji dan dibagikan kepada setiap jamaah sebanyak 70 biji setiap orang. Tapi sebagian jamaah berpendapat berkahnya lebih banyak kalau dipungut sendiri untuk melontarkan jumrah. Bukan sekedar dibagikan panitia haji.
Setelah berada di Mina sejak, jamaah sangat bersemangat untuk segera melontar jumrah di Jamarat. Mereka seakan tidak merasakan kelelahan untuk segera menapaki jalan sedikitnya tiga kilometer (pergi-pulang enam kilometer) ke Jamarat.
Beberapa hari sebelumnya penyelenggara haji Indonesia di Arab Saudi mengeluarkan edaran resmi mengenai waktu melontar jumrah bagi jamaah haji Indonesia. Edaran tersebut sesuai hasil pertemuan para muassasah se Asia Tenggara demi keamanan dan keselamatan jamaah haji. Merupakan juga tindak lanjut Maklumat Menteri Haji dan Umrah Kerajaan Arab Saudi.
Meski ada larangan dari PPIH, banyak jamaah yang tidak peduli. Mereka tetap bersemangat segera ke Jamarat dengan alasan memburu lebih banyak pahala dan berkah.
Malah banyak jamaah yang sengaja mengumpul batu berukuran besar yang berdalih untuk melempar raja setan.
Ibadah haji adalah perjalanan sekaligus merupakan ujian mengikis egoisme sebagai pondasi membangun tatanan kehidupan dan silaturahmi. Orang egois selalu merasa paling benar, susah diajak bicara bersama, berjalan bersama, apalagi untuk tinggal bersama. Mengikis egoisme diri adalah perwujudan ibadah sosial yang merupakan porsi tersebar dalam peribadatan umat.
Ibadah haji adalah untuk mengubur ego. Melatih diri tidak selalu merasa paling benar. Ibadah haji adalah memupuk sama rasa sama rata, saling belajar menerima dan memahami perbedaan kultur dan kebiasaan yang berefek pada sikap toleran menghirup beragam bau dan situasi tubuh sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Inti dari haji adalah menghajikan ego. Kenikmatan ibadah haji adalah melenturkan ego terhadap perbedaan dan keragaman yang efeknya saling memahami untuk berbagi. Haji bukan sekedar simbol, apalagi hanya untuk kenikmatan sendiri, tidak peduli pada orang lain.
Jamaah haji yang sengaja menyiapkan batu berukuran besar melontar jumrah, karena bertekad menghempaskan ego dan sifat buruk lain karena godaan setan.
Katanya, melontar dengan batu besar untuk melempar raja setan. Ego adalah raja setan.
Kita doakan seluruh jamaah haji meraih predikat mabrur dan menjadi teladan kebaikan. (***)