Chriswanto menyebut, Sulbar memiliki masalah stunting dengan peringkat nomor 2 di Indonesia dengan nilai 35,0 persen setelah NTT. Ini mengalami kenaikan sebesar 1,2 persen dari capaian tahun sebelumnya sebesar 33,8 persen.
Menurutnya, salah satu penyebab tingginya angka stunting adalah masih rendahnya akses pangan masyarakat. Dimana skor Pola Pangan Harapan Sulbar sebesar 74 persen dari skor ideal 100 persen. Diharapkan penyediaan pupuk misalnya, dapat selalu tersedia di pasaran dgn harga terjangkau.
Kedua, kemiskinan Sulbar 11,92 persen urutan ke-11 dari 34 provinsi (regional sulawesi urutan ketiga setelah Gorontalo dan Sulawesi Tengah). Ketiga, kemiskinan ekstrem nomor 11 di Indonesia dengan nilai 2,94 persen (regional sulawesi urutan ketiga setelah Gorontalo dan Sulawesi Tengah).
Keempat, Indeks Risiko Bencana Sulawesi Barat Nomor 1 di Indonesia dengan nilai 164,85 dan juga yang kelima adalah Anak Tidak Sekolah (ATS).
Diketahui, kondisi ATS (Anak Tidak Sekolah) usia 7-18 tahun di Provinsi Sulbar juga tergolong tinggi.
Berdasarkan data ATS tahun 2021, dimana Kabupaten Polewali Mandar menjadi kabupaten tertinggi.
“Melihat permasalahan tersebut, kontribusi LDII melalui delapan bidang kluster akan dibahas lebih lanjut saat Muswil III ini dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki Provinsi Sulbar,” ujarnya.
Chriswanto menambahkan, masih ada peluang pembangunan daerah yang bisa disandingkan dengan delapan kontribusi LDII. Di antaranya mengoptimalkan potensi sumber daya alam, khususnya sektor pertanian, perkebunan, perikanan dalam rangka pemenuhan ketahanan pangan. Selain itu, menyiapkan Sumber Daya Manusia yang unggul, kompeten dan kompetitif sangat diharapkan.
“Mempercepat pengembangan jaringan transportasi laut dan udara di Sulawesi Barat dalam mendukung konektivitas
wilayah, dan peningkatan akses jalan, baik jalan nasional, provinsi, kabupaten yang akan membuka akses ke sentra produksi, sentra industri dan distribusi ke terminal dan pelabuhan,” pungkasnya. (ian)