INDONESIA adalah negara yang sangat besar, kaya, dan luas. Kelimpahan sumber daya alam di Indonesia, baik kekayaan laut, pantai, hutan, batu bara, minyak bumi dan lainnya, menjadikan bangsa Indonesia menjadi negara yang memiliki nilai yang tinggi.
Oleh: Nicely Grace Angelica
(Siswa Sekolah Siaga Kependudukan SMU Negeri 1 Mamuju)
Selain kekayaan alam yang melimpah ruah, Indonesia juga dilengkapi dengan budaya dan adat istiadat yang beragam serta jumlah penduduk yang besar. Worldometers (31 Januari 2023) melaporkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sebesar 273,52 juta jiwa. Secara global, Indonesia menempati peringkat keempat dengan jumlah penduduk terbanyak dunia hingga saat ini.
Tapi, di balik kemegahan bangsa Indonesia ini, tahukah bahwa hingga saat ini kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia masih tergolong rendah? Padahal kualitas inilah yang sangat diperlukan untuk membangun dan mengembangkan bangsa kita ini. Di balik semua ini, pasti ada penyebabnya. Salah satu penyebab yang paling mendasar dan yang paling disepelekan adalah masalah kekurangan gizi pada ibu hamil, ibu menyusui, dan balita (anak di bawah lima tahun).
Saat ini, Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi yang berdampak serius terhadap kualitas sumber daya manusia. Kurangnya gizi yang diasup oleh ibu dan balita membuat balita rentan terkena stunting. Stunting sendiri merupakan kondisi gagal tumbuh dan kembang terutama pada anak di bawah usia dua tahun. Penyebab tidak langsung stunting adalah tingginya angka kemiskinan, rendahnya sanitasi lingkungan, ketersediaan pangan yang kurang, pola asuh yang kurang baik, dan pelayanan kesehatan yang belum optimal.
Oleh karena itu, mari kita mengkaji lebih dalam stunting ini. Menurut opini saya sendiri, hal mendasar yang menyebabkan stunting adalah kurangnya gizi yang dikonsumsi. Mengapa zat gizi kurang dikonsumsi? Sangat banyak opini yang bisa terjadi. Yang pertama, karena tingkat kemiskinan yang tinggi di Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis oleh kementerian Keuangan Republik Indonesia, di Jakarta, 16 Januari 2023 – tingkat kemiskinan per september 2022 tercatat sebesar 9,57% atau sebanyak 26,36 juta orang berada di bawah garis kemiskinan. Hal ini jelas menunjukkan kemiskinan penyebab kurangnya gizi. Oleh karena itu, kita sebagai bangsa Indonesia harus berjuang untuk mendapatakan kehidupan yang lebih layak. Dengan belajar kita bisa meningkatkan taraf hidup kita menjadi lebih baik lagi.
Kedua, menurut saya adalah karena kurangnya pengetahuan stunting di masyarakat sekitar. Kebanyakan masyarakat Indonesia menganggap tubuh pendek disebabkan oleh karena keturunan, padahal faktor keturunan hanya mempengaruhi 15% saja. Karena kurangnya pengetahuan stunting di masyarakat sekitar, membuat masyarakat menganggap hal ini sepele, sehingga tidak ada dorongan untuk memakan gizi yang cukup.
Ketiga, sangat berkaitan dengan yang kedua, yaitu karena masih tingginya tingkat pernikahan usia anak di Indonesia. Kasus perkawinan usia anak di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Dari data Pengadilan Agama (2021) atas permohonan dispensasi perkawinan usia anak, tercatat 65 ribu kasus dan tahun 2022 tercatat 55 ribu pengajuan. Saat ini Angka Perkawinan Anak mencapai 1,2 juta kejadian. Indonesia menduduki peringkat kedua di ASEAN dan peringkat kedelapan di dunia untuk kasus perkawinan anak. Hal ini disebabkan karena: anak perempuan hamil terlebih dahulu, orang tua menginginkan anaknya menikah lebih cepat karena sudah memiliki pacar, dan banyak orang tua berpikir dengan menikahkan anaknya lebih cepat, maka akan membuat kehidupan menjadi lebih baik.
Persepsi dan pandangan ini memang kontradiksi. Tidak dapat dikatakan benar dan tidak dapat dikatakan salah. Namun, dengan menikah muda hanya sedikit kemungkinan taraf hidup akan menjadi lebih baik, malah 90% akan mendatangkan masalah. Hal ini dikarenakan belum matangnya pendapatan untuk memenuhi gizi, kurangnya pengetahuan yang dimiliki, yang berdampak pada hasil generasi selanjutnya. Jadi, sebagai generasi muda, kita harus menjadi peneguh bangsa Indonesia. Ayo kita sadarkan pemuda pemudi untuk tidak melakukan perkawinan di usia dini. Dengan belajar kita bisa mengetahui pengetahuan, khususnya stunting sehingga kita bisa menghindari hal tersebut.
Yang keempat juga sangat berkaitan dengan yang ketiga. Hal besar yang menyebabkan kasus stunting semakin banyak, karena kurangnya perhatian anak muda bagi permasalahan Indonesia. Kebanyakan anak muda tidak mau terlibat lebih dalam bagi bangsa Indonesia. Banyak anak muda yang bukannya membangkitkan malah meruntuhkan. Contoh nyata yang dapat kita lihat, yaitu tingginya tingkat penggunaan narkoba, pergaulan bebas, dan kenakalan remaja lainnya. Padahal seharusnya anak mudalah yang membangkitkan bangsa, meneruskan perjuangan pahlawan kita. Mungkin hanya hal kecil yang dapat kita lakukan, misalnya mengobrol dengan tetangga tentang stunting, menyadarkan teman bahwa pernikahan di usia dini itu bukanlah solusi, belajar lebih giat dan lebih baik lagi sehingga dapat memperoleh pengetahuan sebanyak- banyaknya dan membagikan ke orang lain. Tapi hal-hal kecil seperti itu sangat besar dampaknya.
Nah, berdasarkan berbagai persepsi di atas, dapat kita simpulkan bahwa stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang harus ditangani secara serius. Indonesia adalah negara dengan prevalensi stunting kelima terbesar. Bahkan daerah kita sendiri Sulawesi Barat memiliki tingkat prevalensi Stunting yang tinggi. Menurut hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, prevalensi balita stunting di provinsi ini sebesar 35% pada tahun lalu. Prevalensi balita stunting Sulawesi Barat tercatat naik 1,2 poin dari tahun sebelumnya. Pada 2021, prevalensi balita stunting di provinsi ini sebesar 33,8%. Selain peringkat kedua nasional, angka stunting di Sulawesi Barat berada di bawah ambang batas yang ditetapkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 20%.
Hal ini cukup menjadi gambaran yang jelas bagi masyarakat Indonesia. Sudah saatnya kita bergerak untuk menghapus stunting. Hal ini bisa dilihat dari dampak negatifnya. Dampak negatif stunting bagi anak adalah memiliki tingkat kecerdasan yang tidak maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat berisiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan.
Sekarang, kita pasti sudah tergugah untuk mencegah stunting. Beberapa hal yang dapat dilakukan, seperti memberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif pada bayi hingga berusia 6 bulan; memantau perkembangan anak dan membawa ke posyandu secara berkala; mengonsumsi secara rutin Tablet Tambah Darah (TTD); dan memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang bergizi dan kaya protein hewani untuk bayi yang berusia di atas 6 bulan.
Dengan melakukan berbagai cara mencegah stunting pada anak di atas, diharapkan mampu meminimalisir potensi stunting pada anak-anak di Indonesia pada umumnya, dan di Sulawesi Barat pada khususnya. Ayo semua, kita berkontribusi, ulurkan tangan kita. Mari cegah stunting dimulai dari sekolah. Dari sekolah mengubah dunia. (*)