LOMBOK, RADARSULBAR.CO.ID – Dua Pimpinan pondok pesantren (ponpes) di Kecamatan Sikur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Timur (NTB), ditetapkan sebagai tersangka kasus pencabulan terhadap para santriwati. Bahkan korban diperkirakan berjumlah 41 orang.
Dua oknum pimpinan Ponpes itu masing-masing berinisial LM (40) asal desa Kotaraja dan HSN (50) asal Sikur. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Kriminal Umum Polda NTB.
Kasi Humas Polres Lombok Timur Iptu Nicolas Osman mengatakan, tersangka HSN merupakan pimpinan ponpes di Kecamatan Sikur. Sementara LMI juga pimpinan di Ponpes di Kecamatan Sikur. Namun keduanya berbeda Desa.
Nicolas menurutkan, korban HSN yang melapor baru satu orang. Sedangkan, jumlah korban dari LMI disinyalir mencapai lima orang dan baru dua orang yang melapor.
Menurut Nico modus kedua pelaku masih didalami kepolisian. Namun, dari hasil pemeriksaan saksi, LMI melakukan pencabulan kepada para santrinya dengan modus ajakan masuk surga.
“Ya kira-kira begitu pengakuan korban dari LMI. Sementara, itu yang kami dapatkan,” kata Nico.
Terpisah, Direktur Biro Konsultan Bantuan Hukum (BKHB) Fakultas Hukum Unram Joko Jumadi mengatakan, LMI melakukan modus pencabulan denhan janjikan surga.
“Jadi kalau tidak mau berhubungan badan, pelaku ancam keluarga korban dapat celaka,” kata Joko.
Menurut Joko, rata-rata korban disetubuhi di ruangan lab di lingkungan ponpes.
Sebelum melakukan aksinya, korban dipanggil oleh empat asisten pelaku yang merupakan pengurus ponpes.
“Ada empat asisten, laki-laki semua. Jadi asisten itu yang mengarahkan ke para korban ke dalam ruangan lab untuk disetubuhi,” kata Joko.
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Provinsi NTB, Badaruddin mengatakan, korban pencabulan yang dilakukan oleh tersangka HSN inI sudah tercatat berjumla 41 santriwati.
Parahnya, para korban rata-rata berusia 15 – 16 tahun yang duduk di kelas 3 MTs/SMP.
Badaruddin menjelaskan, modul yang dilakukan oleh HSN untuk nafsu bejatnya, yakni dengan iming-iming bisa mendapatkan berkah dan masuk surga.
“Modus yang ditawarkan, wajah bercahaya dan berkah agar masuk surga. Jadi, para korban dipegang dan diperkosa seperti diperdaya. Semua korban hampir sama prosesnya,” jelasnya.
Menurut Badar, HSN melakukan aksinya sejak 2012. Bahkan, kata Badar, ada sejumlah korban yang diperkosa lebih dari dua kali.
“Jadi setiap melakukan aksinya, pelaku ini memanggil korban ke dalam rumahnya. Di sana, dia (korban) dipegang tidak sadarkan diri, baru dibawa ke dalam kamar pelaku,” katanya.
Menurut Badaruddin, sapaan akrabnya, modus membuka pengajian seks diberikan jauh-jauh hari sebelum beraksi mencabuli para santriwati.
Badaruddin yang juga kuasa hukum bagi korban ini mengatakan, salah satu modul lain yang dilakukan pelaku adalah membuka pengajian seks kepada santri yang menjadi targetnya.
“Yang jelas, pelaku sengaja buka pengajian seks itu kepada korban-korban yang dia bidik untuk dicabuli,” tutur Badaruddin.
Dalam kajian seks itu, para santriwati yang masih di bawah umur itu diajar bagaimana cara berhubungan badan dengan lawan jenis.
Akibat perbuatannya, kedua oknum pimpinan pondok pesantren tersebut terancam pasal 81 junto pasal 76D undang-undang nomor 17 tahun 2016 tentang peraturan pemerintah pengganti UU nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU 2002 tentang UU perlindungan anak menjadi UU atau pasal 6 c, UU nomor 12 tahun 2002 tentang tindak pidana kekerasan seksual. Dengan hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp5 Miliar. (*)