Oleh: M Danial
FENOMENA Caleg (calon anggota legislatif) Pemilu 2024 menjadi obrolan banyak pihak sejak masa perekrutan oleh Parpol sampai pendaftaran bakal caleg ke KPU.
Kader pindah partai saat pendaftaran bakal Caleg selalu terjadi setiap pemilu. Begitupun munculnya nama-nama baru dari kalangan pesohor, mantan pejabat dan pensiunan. Selain itu, orang yang “berpunya” dan mengandalkan kekuatan uang.
Fenomena tersebut mengindikasikan kuatnya tarik-menarik kepentingan sebatas untuk mendulang suara. Kader pindah partai kini seolah menjadi kelaziman merupakan indikasi dominannya kepentingan pragmatis sebagai yang pertama dan utama. Kepentingan rakyat yang menjadi jargon parpol tidak lebih dari sekedar formalitas. Sebagai pemanis jargon.q
Kekinian, bakal caleg pindah partai karena kegamangan terhadap judicial review sistem pemilu yang sedang bergulir di Mahkamah Konsitusi: proporsional terbuka atau kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.
Dalam sistem proporsional terbuka, pemilih memilih atau mencoblos nomor urut atau nama caleg yang diinginkan dalam surat suara. Sedangkan sistem proporsional tertutup, pemilih hanya memilih atau mencoblos gambar partai politik.
Penetapan calon terpilih proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh caleg. Sedangkan proporsional tertutup, calon terpilih berdasarkan nomor urut dalam daftar caleg parpol. Gambarannya, jika partai mendapat dua kursi, maka yang terpilih adalah calon nomor urut satu dan nomor urut dua.
Di satu daerah pada pendaftaran caleg beberapa hari lalu, seorang kader sebuah parpol sudah didaftar sebagai bakal caleg. Hadir berseragam lengkap bersama rombongan partainya mendaftar di KPU setempat.
Mengetahui namanya tergencet dari nomor urut kecil yang dijanjikan partai, sang kader langsung putar haluan. Berlabuh ke partai lain yang memberikan nomor urut sesuai keinginannya. Ia datang kembali ke KPU menyertai rombongan partai barunya mendaftar bakal caleg. Tentu dengan seragam baru pula.
Bakal caleg tersebut mengaku kecewa partai sebelumnya menempatkan namanya di nomor urut di bawah. Diakui pula bahwa yang mengetahui susunan daftar bakal caleg hanya pimpinan parpol dan orang tertentu. Dirinya sebagai bakal caleg, namun tidak mengetahui dan tidak melihat daftar bakal caleg yang didaftar ke KPU.
“Dalam internal partai tidak semua mengetahui nomor urutnya (sebagai bakal caleg) yang didaftar ke KPU. Semua menginginkan nomor urut kecil,” ungkapnya. Katanya, nomor urut kecil lebih berpeluang terpilih kalau sistem pemilu kembali ke sistem lama: proporsional tertutup.
Penyusunan daftar bakal caleg yang cenderung tertutup, sehingga tidak diketahui dan tidak bisa diakses selain oleh pimpinan parpol, dikeluhkan para kader parpol. Mereka hanya diminta melengkapi berkas pencalonan, tanpa mengetahui nomor urutnya.
“Yang mengetahui hanya pimpinan parpol, itupun tidak semua. Yang tahu juga operator Silon, dia yang menginput dan mengupload ke ke KPU,” ungkap seorang bakal caleg jelas, mengeluhkan kondisi yang dihadapi.
Silon atau sistem informasi pencalonan adalah sistem yang diterapkan KPU yang terhubung ke semua parpol peserta pemilu terkait pencalonan. Setiap parpol memiliki operator khusus untuk urusan tersebut.
Kondisi tersebut berbeda dengan pemilu sebelumnya. Penyusunan daftar bakal caleg oleh parpol harus dilakukan secara terbuka dan demokratis. Karena itulah, susunan daftar bakal bakal caleg sejak awal diketahui oleh yang bersangkutan. Selain itu, saat pendaftaran ke KPU langsung bisa diketahui publik melalui media.
“Kalau yang kita lihat sekarang, mengetaui siapa yang menjadi caleg, tidak tahu siapa saja bakal caleg, menunggu pengumuman DCS, DCT, akan sama halnya disodorkan makanan yang belum tentu disukai. Harusnya bisa diketahui sejak awal, terutama soal rekam jejaknya,” komentar seorang warga.
Saya teringat pengalaman sebagai “sesuatu” pada penyelenggaraan pemilu. Salah satu persyaratan pendaftaran caleg adalah terdaftar sebagai pemilih yang dibuktikan dengan surat keterangan yang dikeluarkan PPS di desa/kelurahan atau KPU kabupaten.
Beberapa orang datang ke KPU untuk mendapatkan surat keterangan terdaftar sebagai pemilih sesuai domisilinya, gagap ditanya parpol yang mengusungnya sebagai caleg.
“Saya tidak tahu pak, saya cuma disuruh ke sini (KPU) meminta surat untuk pendaftaran caleg,” kata seorang bakal caleg ketika itu.
Fenomena kader pindah partai dan bakal caleg maju-mundur karena parpol menafikan keterbukaan dan demokratisasi dalam internal parpol, penting menjadi perhatian agar tidak terbiasa menyimpang dari prinsip demokrasi.
Fenomena perekrutan kader parpol, penyusunan daftar bakal caleg, atau kader maju-mundur-maju sangat mungkin tidak lagi menjadi obrolan setelah muncul DCS lalu DCT. Karena sejak awal masyarakat digiring agar tidak mengetahui yang diusung parpol untuk menjadi wakil rakyat. Wallahualam. (*)