Oleh: Yarifai Mappeaty
Sejak 2021, Ganjar Pranowo merajai survei elektabilitas capres. Hampir semua lembaga survei menempatkannya lebih unggul dari kedua pesaingnya, Prabowo Subiato dan Anies Baswedan. Sehingga tak salah jikalau orang-orang yang suka iseng menyebut Ganjar sebagai pemilik mahkota pemuncak survei versi lembaga survei.
Namun, tak lama setelah Prabowo diwacanakan dipasangkan Ganjar melalui Koalisi Besar yang dirancang Jokowi, Ganjar harus rela ketika mahkotanya dicopot oleh Indikator Politik Indonesia, melalui rilisnya pada 19 April 2023. Mahkota pemuncak survei pun kemudian disematkan di atas kepala Prabowo Subianto.
Guna meneguhkan posisi Prabowo di puncak elektabilitas capres, Poltracking memberi penguatan dan mendukung klaim Indikator. Poltracking pada 28 April 2023 mengeluarkan rilis kalau Prabowo mengungguli Ganjar, tipis, 1,3 persen. Tampaknya, Indikator dan Poltracking bahu membahu untuk Prabowo. Tumben. Apakah karena Jokowi berada di sana?
Melihat perlakuan kedua rekannya, SMRC seolah tak terima. Sehari setelah Poltracking mengeluarkan rilis pada 29 April 2023, SMRC melengserkan Prabowo, dan mahkota pemuncak survei ia kembalikan kepada Ganjar. Bayangkan, hanya 8 hari usai PDI-P mendeklarasikan Ganjar pada 21 April 2023, di Istana Batu Tulis, SMRC sudah keluarkan rilis.
Akan tetapi, giliran LSI seperti tak rela melihat SMRC yang begitu jumawa. Lebih kurang sepekan kemudian, ia merenggut mahkota Ganjar melalui rilisnya pada 03 Mei 2023. Tadinya, saya mengira mahkota itu dipersembahkan penuh takzim kepada Anies. Ternyata tidak, begitu melihatnya bertengger di atas ubun Prabowo yang tengah senyum sumringah.
Dikeroyok oleh Indikator, Poltracking, dan LSI, tak membuat SMRC gentar. Sebab Charta Politka, sohibnya, takkan pernah meninggalkannya sendirian. Terbukti, sehari berselang rilis survei LSI, Charta Politika juga mengeluarkan rilis pada 04 Mei 2023. Hasilnya?
“Ngana belum survei, kita so baca,” kata kawan yang suka berlogat Kawanua.
Benar. Ganjar dibuat rebound oleh Charta Politika dan mengungguli Prabowo, 3,4 persen. Lalu mahkota Pemuncak survei kembali bertengger menghias kepala Ganjar. Di sini, hubungan Charta Politika dan SMRC membuat kagum, benar-benar seperti satu sio. Sampai-sampai metode survei yang digunakan, pun, sama, survei kilat melalui telepon seluler.
Tetapi Mahkota Ganjar hanya bertahan, tak cukup sepekan. Sebab Survey dan Polling Indonesia (SPIN) tak tinggal diam. Melalui rilisnya pada 08 Mei 2023, SPIN mengembalikan mahkota tersebut kepada Prabowo.
Tak tanggung-tanggung, SPIN membuat Prabowo unggul hampir 16 persen dari Ganjar. Namun jangan kaget, sebab survei SPIN memang cenderung ”bersahabat” terhadap Prabowo. Ingat Pilpres 2019 tatkala SPIN dihujat pendukung Jokowi?
Mengapa hasil survei seperti itu? Yah, mau-maunya siapa yang membayar lembaga survei. Sehingga Hampir dapat dipastikan bahwa ke depan, hasil survei Indikator, Poltracking, LSI, dan SPIN, akan selalu mengunggulkan Prabowo. Begitu pula SMRC dan Charta Politika, akan selalu memahkotai Ganjar. Tergantung di pihak mana lembaga survei bersangkutan bekerja.
Namun tak kalah menarik dicermati adalah pemihakan Indikator, Poltracking, dan LSI belakangan ini. Mereka, sebagaimana kita ketahui, bahwa sejak dulu tak pernah bersahabat dengan Prabowo. Mengingat ketiganya adalah pendukung Jokowi, maka hampir bisa disimpulkan kalau yang di-endorse Jokowi saat ini, bukan Ganjar, melainkan Prabowo.
Kesimpulan dini di atas, juga dikuatkan oleh sinyalemen yang berkembang jikalau para pengusaha tambang saat ini, khususnya batu bara dan nikel, mulai mendekat ke kubu Prabowo, terutama, konon, untuk menunjukkan loyalitasnya pada Jokowi. Logis. Sebab kalau tidak, kekuasaan Jokowi yang tersisa, masih mampu membuat tambang mereka digembok.
Apakah mereka mendekat bukan karena semata elektabilitas Prabowo memang tinggi? Sehingga dipersepsi oleh para pengusaha paling berpeluang memenangkan pilpres. Mungkin saja. Tetapi selama rezim ini tak berhenti berusaha menghentikan Anies Baswedan, maka semua hasil survei itu, patut dipercaya sebagai survei rekayasa alias bohong-bohongan. Framing.
Mengapa tidak? Sebab, untuk apa capek-capek bekerja keras menghentikan Anies. Toh, elektabilitasnya hanya belasan persen, tak cukup untuk memenangkan pilpres. Lalu, untuk apa lagi, meminjam istilah Denny Indrayana, mencopet Demokrat?. (*)