Oleh: M Danial
SATU malam sebelum hari pertama ramadan yang lalu, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya berlangsung pawai obor di berbagai tempat.
Pawai obor sudah populer sebagai salah satu tradisi dan wujud kegembiraan masyarakat menyambut bulan suci ramadhan.
Awal ramadhan merupakan juga momen untuk menyemarakan syiar Islam dengan menggelar tradisi dan budaya lokal. Sekaligus untuk mengeratkan kebersamaan melalui silaturahmi sesama warga masyarakat.
Saya bersyukur pada bulan ramadhan yang lalu merasakan beragam suasana malam ramadhan. Dengan menjadi jamaah salat di masjid berbeda di sejumlah tempat di Polewali Mandar.
Saya menyambangi sejumlah masjid, melihat dan merasakan suasana dan sensasi tersendiri di berbagai tempat.
Malam-malam pertama ramadhan, terlihat semangat umat Islam memadati masjid dan musalah. Sayangnya semangat itu berangsur menurun dan melandai seiring perjalanan bulan ramadhan. Terlebih pada hari-hari terakhir bulan penuh berkah tersebut.
Semarak jamaah di masjid-masjid bergeser ke pasar dan tempat perbelanjaan yang beroperasi hingga malam hari.
Fenomena tersebut bukan hal baru. Tak heran ada nitizen yang menulis sentilan di medsos.
“Saf masjid “makin maju” pada hari-hari terakhir ramadan,” sentil seorang nitizen di beranda facebooknya.
Menjadi jamaah taraweh di satu masjid dan masjid yang lain, merasakan suasana yang berbeda pula.
Peranan jamaah yang usianya tidak muda lagi atau jamaah senior masih dominan di sejumlah masjid. Menjadi muazzin (azan), sebagai imam dan urusan lain dilakukan oleh jamaah senior. Termasuk sebagai MC dan pembacaan isi kotak amal dan laloran kas masjid kepada jamaah dan masyarakat.
Sebagian masjid mulai melakukan regenerasi. Memberi kesempatan kepada para yunior atau jamaah yang berusia muda menjadi pelaksana rangkaian kegiatan. Selain sebagai MC dan muazzin, juga sebagai imam salat isya, tarawih sampai witir.
Tidak sedikit masjid yang secara khusus mendatangkan santri atau alumni pesantren, bahkan penghafal Quran menjadi imam salat tarawih.
Pelaksanaan seluruh rangkaian kegiatan di beberapa masjid berakhir lebih cepat karena hanya melaksanakan salat isya, tarawih dan witir. Tidak ada dai atau penceramah ramadhan.
Pengurus salah satu masjid mengatakan tidak mengundang penceramah karena kas masjid terbatas untuk amplop penceramah.
“Kita tidak mengundang penceramah karena kas masjid terbatas. Kita sudah bersyukur kalau ada pemasukan (melalui kotak amal) untuk bayar listrik,” ujarnya.
Ceramah ramadhan di beberapa masjid tidak hanya bersifat umum mengenai ketauhidan dan pencerahan untuk peningkatan iman dan taqwa kepada Allah Swt.
Ada pula penceramah yang materinya lebih tepat disampaikan pada forum pengajian atau kajian karena berkaitan dengan pendalaman syariat Islam.
Ceramah ramadhan kepada jamaah yang umumnya masih awam, sangat mungkin menyebabkan kebimbangan umat karena tidak memahami makna ibadah yang dilaksanakan.
“Kalau seseorang tidak paham makna (ibadah) yang dilaksanakan, maka salatnya, puasanya, zakatnya, hajinya akan sia-sia,” jelas seorang penceramah ramadhan.
Para jamaah saling pandang mendengar sang ustaz atau dai tersebut. Terlihat kebimbangan mereka pada ibadah yang dilaksanakan selama ini.
Jamaah awam merasa kesulitan mencerna ceramah yang memvonis kesia-siaan ibadahnya karena tidak dipahami maknanya.
Semoga saja vonis itu tidak membuat mereka berubah pikiran mengabaikan kewajibannya sebagai umat Islam. Jangankan mengharap pahala, yang didapat hanya kesia-siaan ibadah selama ini.
Bulan ramadhan merupakan momentum untuk penguatan semangat beragama dan pelaksanaan ibadah umat Islam. Karena itulah diperlukan pencerahan melalui ceramah agama yang tidak bernada memvonis.
Kekosongan penceramah ramadhan di sebagian masjid karena berbagai faktor, perlu menjadi perhatian pada tahun-tahun mendatang.
Masjid yang tidak sanggup menghadirkan penceramah ramadhan berada di lokasi yang masih tergolong perkotaan. Entah bagaimana kesulitan masjid di perdesaan untuk kebutuhan tersebut.
Selain itu, diperlukan perhatian mengenai waktu pelaksanaan salat yang intervalnya berjauhan antara satu masjid dengan masjid lain, walau jaraknya tidak berjauhan.
Patut diapresiasi peranan beberapa pesantren yang menyebar santrinya melakukan ceramah ramadan. Secara swadaya pula.
Menjadi catatan pula perlunya perhatian soal ketertiban dan kebersihan masjid agar jamaah lebih tenang dan khusyuk melaksanaan salat. Untuk hal tersebut, termasuk kebersihan tempat wudhu.
Banyak masjid yang jamaahnya merasa tenang, nyaman dan lebih khusuk karena suasana tertib, bersih dan sejuk. Namun tidak sedikit yang perlu perhatian dan pendampingan untuk ketenangan dan kenyamanan jamaah. Termasuk pula untuk kemakmuran masjid. (*)