POLEWALI, RADARSULBAR.CO.ID – Serikat mahasiswa dan rakyat Polman desak pemerintah segara mencabut Undang-undang Cipta Kerja. Karena dinilai merugikan masyarakat dan menguntungkan golongan tertentu saja.
Hal ini disuarakan ratusan mahasiswa dan masyarakat saat mengelar aksi demo ditiga titik yakni Kantor Bupati Polman, Kantor DPRD dan perempatan lampu merah Lapangan Pancasila Pekkabata, Senin (3/4).
Terdapat lima poin yang menjadi tuntutan massa pengunjukrasa yakni mencabut Peraturan Perundang-undangan Cipta Kerja, Menuntaskan persoalan sampah, menuntaskan masalah stunting dan mendesak pemerintah agar dapat menekan angka putus sekolah dan mempertanyakan penggunaan anggaran taman mini gazebo DPRD Polman.
Salah satu peserta aksi unjukrasa, Asrul menyampaikan dari sekian polemik yang ada baik di tingkat nasional maupun daerah, semua memberi kabar rakyat untuk kesekian kalinya digiring pada jurang penderitaan.
“Hak hak mereka dipasung, suara mereka terabaikan, dan kemaslahatan hidup mereka dipecundangi oleh persekongkolan elit oligarki yang hanya memihak pada kelompok dan golongannya saja,” ujar Asrul.
Lanjutnya, disahkannya UU Cipta Kerja melalui Perpu di tahun ini merupakan gerbang baru penjajahan atas rakyat dan bumi Indonesia oleh asing dan pemimpinnya sendiri.
Sederet ayat dan pasal dalam UU Cipta Kerja teramat jelas tidak memiliki keberpihakan atas lingkungan hidup dan kesejahteraan rakyat kecil terutama golongan pekerja dan buruh dan memberi ruang selebar lebarnya pada korporasi untuk merajai bumi indonesia melalui sistem yang terkesan dipermudah.
Bukan tanpa penolakan, pada tahun 2021 Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan inkonstitusional bersyarat atas undang undang cipta kerja karena terdapat cacat formil maupun materil didalamnya, dan memberikan waktu selama dua tahun untuk memperbaiki.
Bukannya mengindahkan putusan MK, Presiden dan anggota DPR RI malah mengabaikan dan secara tergesa gesa mengesahkannya melalui Perpu. Kenyataan demikian merupakan potret pemerintahan rezim Jokowi Ma’ruf telah melukai konstitusi dan nasib rakyat Indonesia.
Selain itu, membawa isu lokal yakni menuntut transparansi penggunaan anggaran taman mini DPRD Polman.
“Pembangunan dua gazebo di DPRD dengan anggaran Rp. 100 juta, ini patut dipertanyakan. Pasalnya anggarannya cukup besar untuk dua unit gazebo,” ujarnya.
Kemudian kepedulian pemerintah daerah Polman atas kesejahteraan masyarakatnya kian jauh dari apa yang diharapkan.
Persentase jumlah anak yang mengalami stunting yang kian meningkat menjadi bukti kelalaian pemerintah dalam menjamin kesehatan rakyatnya. Memastikan lingkungan Polman yang sehat bukan malah menjadikan bahu jalan dan pasar rakyat sebagai tempat menumpuk sampah.
“Ada 4.181 anak anak usia 7-15 tahun harus menelan pahitnya kenyataan putus sekolah karena kondisi keluarga yang tidak mampu menanggung biaya pendidikan yang begitu mahal,” jelasnya.
Tentu ini menjadi ancaman yang nyata bagi generasi Indonesia khususnya Polman. Fakta ini menjadi perhatian mahasiswa sebagai agen of social control untuk menggalang kekuatan membentuk aliansi perlawanan terhadap penindasan atas rakyat.
Dalam aksi ini mahasiswa berdialog dengan Wakil Ketua DPRD Polman, Amiruddin dan Nurbaeti serta jumlah anggota dewan. Aksi unjukrasa yang digelar diwaktu terik mentari ini menyebabkan terjadinya kemacetan di sepanjang jalan Andi Depu Polewali depan kantor DPRD Polman. Aparat kepolisian terpaksa memberlakukan sistem apalagi massa melakukan aksi bakar ban di jalan. (arf/mkb)