Oleh : M Danial
SEBELUM Sulawesi Barat terbentuk menjadi provinsi pemekaran dari Sulawesi Selatan pada 2004. Wonomulyo sudah dikenal sebagai pusat perekonomian dan perdagangan di Polewali Mandar yang ketika itu masih bernama Polewali Mamasa. Bahkan sudah menjadi kiblat para pedagang di kawasan barat Sulsel dalam urusan jual-beli hasil bumi.
Tahun ke tahun pertumbuhan ekonomi menggeliat makin pesat di wilayah ini. Wonomulyo menjadi pusat perekonomian, perdagangan, industri dan jasa termasuk perbankan.
Pada dekade 2000-an di Wonomulyo sudah ada belasan bank membuka kantor operasional berupa canang atau kantor unit. Terdiri bank BUMN, bank swasta, bank perkreditan rakyat (BPR), dan jasa keuangan lainnya. Ketika itu, kerap terdengar komentar yang membandingkan kemajuan Wonomulyo dengan Polewali sebagai ibukota kabupaten Polmas.
Kemajuan Wonomulyo tidak terlepas dari
kehidupan masyarakatnya yang heterogen. Tapi konsisten merawat kebersamaan dan saling menghargai. Sudah terbiasa pula dengan keterbukaan. Sejak lama penduduk Wonomulyo yang terdiri berbagai suku: Mandar, Jawa, Bugis, Toraja dan lainnya hidup rukun dan damai. Akulturasi budaya antarwarga terjalin erat secara turun-temurun.
Berawal pada masa penjajahan Belanda dengan kedatangan transmigran dari Pulau Jawa. Sebelumnya Wonomulyo merupakan kawasan hutan yang berada dalam wilayah Distrik Mapilli di bawah pemerintahan Swapraja Balanipa. Secara umum, Wonomulo artinya hutan mulia.
Pada dekade 1930-an sampai 1940-an pemerintah kolonial mendatangkan transmigran yang kala itu disebut kolonisasi. Para kolonisasi yang datang secara bergelombang, membuka kawasan hutan menjadi lahan perkebunan dan lokasi permukiman. Tahun ke tahun daerah yang dahulu bernama kolonis Mapilli terus berkembang maju sebagaimana terlihat sekarang.
Sejak kapan nama Wonomulyo secara resmi menggantikan sebutan untuk daerah bekas kolonis Mapilli? Akan diketahui dari hasil penelusuran tim yang dibentuk untuk penetapan Hari Jadi Wonomulyo.
Awal Desember 2022, telah digelar Focus Group Discussion (FGD) Eksistensi Diaspora Kolonisasi Mapilli yang difasilitasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulbar di Pendopo Wonomulyo.
Salah satu sumber mengenai awal mula nama Wonomulyo, terbaca pada catatan yang ditulis Mukidjo berjudul “Kenangan Babad Kolonisasi – Mapilli”. Mukidjo adalah salah satu keturunan Jawa di Wonomulyo.
Pensiunan PNS Pemkab Polmas yang akrab disapa Pak Mukijo menulis catatan sederhana dalam bentuk ketikan manual 11 halaman folio tertanggal 1 Agustus 2001 tentang Sejarah Wonomulyo.
“Setelah berjalan sepuluh tahun wilayah kolonisasi Mapilli dibuka pada tahun 1938, keadaannya telah berubah segalanya menjadi lebih baik. Sarana dan prasarana untuk kepentingan masyarakat (kolonis) cukup memadai dan dapat dibanggakan bahwa Kolonisasi Mapilli berhasil membangun daerah/wilayahnya yang cukup representatif.”
Dijelaskan, bahwa melihat hasil kerja yang baik tersebut, pimpinan pemerintahan Kolonisasi bersama Dinas / instansi terkait dan pembantunya, termasuk para kepala desa/kampung mengadakan pertemuan dan permufakatan untuk mengadakan syukuran / peringatan sepuluh tahun pembukaan wilayah Kolonisasi Mapilli.
Dalam pertemuan tersebut, tulis Mukidjo, disepakati bahwa peringatan / syukuran tersebut ditetapkan pada tanggal 5 Oktober 1948 yang diramaikan dengan adanya pembukaan fanci-fair yang ditempatkan di lapangan depan Pendopo Kewedanaan selama tujuh hari tujuh malam.
Menurut Mukidjo, pertemuan rencana syukuran tersebut membahas juga mengenai rencana perubahan / penetapan penggantian nama Kolomisasi Mapilli.
“Kemudian setelah adanya permufakatan tersebut, maka pada kegiatan syukuran dan pembukaan fanci-fair oleh pimpinan pemerintahan Bapak R. Soeparman diumumkan bahwa: Kolonisasi Mapilli ditetapkan dengan nama Wonomulyo.” Menurut Mukidjo, sejak saat itulah nama Wonomulyo berkumandang ke wilayah lain seperti Majene, Mamuju, Pinrang, Pare-pare, Makassar, dan lain-lain.
“Kalau kita simak kata majemuknya, Wonomulyo dapat diartikan: Wono = hutan dan Mulyo berarti memberi kebahagiaan hidup yang intinya dataran rendah berhutan perawan yang diolah dengan baik dapat memberikan kebahagiaan hidup bagi masyarakat penghuninya. (Hutan yang diolah dapat memberikan kebahagiaan),” jelas Mukidjo, tentang nama Wonomulyo.
Catatan pak Mukidjo merupakan salah satu sumber untuk penelusuran sejarah nama Wonomulyo. Sumber lain yang perlu menjadi referensi adalah Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Polewali Mamasa Nomor 195/KDH tentang Penetapan pembentukan daerah administratif / Desa Swantara dalam wilayah Daerah Tingkat II Polewali Mamasa. Surat Keputusan tersebut tertanggal 15 Oktober 1961, tertulis nama Kecamatan Wonomulyo yang mewilayahi 15 desa.
Sejarawan Dr Abd Rahman Hamid pada “FGD Esksistensi Diaspora Kolonisasi Mapilli” menyebut kedatangan Kolonis Jawa di Mandar pada 1 September 1937. Sejarawan yang banyak meneliti tentang Mandar menulis dalam power point yang dibagikan kepada peserta FGD.
“Dengan senang sekali setiap orang menanti kedatangan orang-orang Jawa, mereka tiba berduyun-dusun pada 1 September 1937 di dermaga, sesudah diregistrasi’ disuntik, dan diangkut per bis, secangkir teh panas dan nasi pada tengah hari, dan menolong menempatkan mereka pada tempat yang sudah tersedia dimana penduduk terheran-heran melihat mereka, sehingga untuk sementara daerah itu dilarang dimasuki penduduk dan pada sore hari mereka menarik undi untuk memperoleh halaman rumah masing-masing…,” tulis Dosen Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung itu. (*)