Timsel Kode Etik

  • Bagikan

Oleh: M Danial

SELEKSI jabatan publik selalu menjadi perhatian banyak pihak. Karena jabatan publik sejatinya diisi orang yang betul-betul memenuhi syarat dari berbagai aspek. Selama ini sangat sering persyaratan sekadar formalitas. Kelaziman yang selalu melukai perasaan publik.

Seleksi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sedang berlangsung di sejumlah provinsi dan kabupaten/kota, menjadi perhatian berbagai pihak. Di Sulawesi Barat, berlangsung seleksi KPU provinsi dan empat kabupaten yang tidak lama lagi akan berakhir masa jabatan KPU-nya.

Sebuah media online mengabarkan pernyataan Ketua Timsel calon anggota KPU Provinsi Sulbar Amiruddin Pabbu. Ia menegaskan bahwa timsel akan mempertimbangkan calon anggota KPU yang memiliki riwayat pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu atau KEPP dan pernah menjalani sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Pernyataan Ketua Timsel tersebut, menanggapi salah satu organisasi mahasiswa Mamuju, Sulbar mengenai calon anggota KPU provinsi yang pernah “berurusan” dengan DKPP sebagai penegak kode etik penyelenggara pemilu.

UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Di dalamnya mengatur tentang DKPP sebagai lembaga penyelenggara pemilu selain KPU dan Bawaslu. DKPP bertugas menangani pelanggaran KEPP. Yaitu menerima aduan dan/atau laporan dugaan pelanggaran, melakukan penyelidikan, verifikasi, serta pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik.

DKPP berwenang memutus pelanggaran kode etik. Berwenang pula memanggil penyelenggara pemilu yang diduga melakukan pelanggaran, memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak lain yang terkait (untuk dimintai keterangan). DKPP berwenang memberikan sanksi kepada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik.

Putusan DKPP berupa sanksi atau rehabilitasi yang bersifat tetap (final) dan mengikat. Putusan dalam bentuk sanksi berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap sebagai penyelenggara pemilu. Ada pula sanksi pemberhentian dari jabatan, misalnya sebagai ketua KPU menjadi anggota biasa atau pergeseran bidang tugas.

Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu sangat rentan terjadi, terutama pada tahapan pemilu; pemilu legislatif atau Pilkada. Yang kerap terjadi dan mendominasi adalah persoalan profesionalitas. Penyebabnya terkait dengan kemampuan, kapasitas, dan kompetensi.

Integritas dan independensi penyelenggara pemilu terutama di tingkat bawah atau adhoc sangat sering pula menjadi persoalan. Namun bukan berarti integritas, independensi, dan netralitas penyelenggara pemilu di level atas tidak menjadi sorotan. Selain itu, mengenai pemahaman regulasi, manajemen dan tata kelola administrasi yang sangat mempengaruhi kredibilitas pemilu.

Dilansir dari dkpp.go.id (8/12), selama satu dasawarsa DKPP (2012-2022) menerima 4.506 pengaduan. Dengan jumlah tersebut, ribuan penyelenggara menjadi teradu 1.970 aduan yang ditetapkan sebagai perkara pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KEPP). DKPP memutus 2.630 penyelenggara mendapat teguran tertulis, 73 pemberhentian sementara, 695 pemberhentian tetap, 75 pemberhentian dari jabatan. Sedangkan 4.195 teradu tidak terbukti melanggar kode etik, mendapat rehabilitasi.

Penyelenggara Pemilu harus fokus pada tugasnya. Tahapan Pemilu 2024 berlangsung beriringan dengan pelaksanaan seleksi calon anggota KPU provinsi dan kabupaten/kota. Menjadi tantangan berat penyelenggara yang berminat kembali untuk jabatan periode kedua. Begitupun yang ingin naik kelas dari KPU kabupaten ke provinsi.

Kedudukan sebagai penyelenggara pemilu, mengharuskan fokus menjalankan tugas dan tanggung jawab. Amanah yang melekat sampai akhir masa jabatan. Namun yang mendaftar seleksi, tentu tidak ingin sekadar menjadi penggembira. Pikiran dan perhatiannya akan terbagi antara kewajiban dan hak. Dipastikan menjadi dilema untuk menentukan yang lebih penting dan harus diutamakan. Kecuali kalau berpikir sekadar mencoba. 

Saya teringat peribahasa klasik: Mencoba tidak mengapa, salah coba jadi pengalaman. Entah ada yang berpikir seperti itu. Sangat mungkin pula karena merasa memiliki “sesuatu” yang mengaggap persyaratan yang diketahui publik adalah formalitas administrasi. Hasil seleksi yang menihilkan persyaratan penting cenderung menjadi kelaziman.

Penentuan karena faktor nonteknis. Faktor relasi, pertemanan atau kedekatan lain sudah sering terjadi. Bukan hal baru lagi. Bukan rahasia pula banyak pendaftar seleksi terlebih dahulu mencari “cantolan”. Untuk mendapat legitimasi organisasi tertentu sebagai naungan. Integritas bukan lagi yang utama.  Kompetensi urusan belakangan. Semangat dan idealisme tenggelam kepentingan pragmatis.

Kita berharap hasil kerja Timsel calon KPU bukan live service. Publik berhak menagih dan menunggu konsistensinya. Integritas dan rekam berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara dan penyelenggaraan Pemilu nanti. (*)

  • Bagikan