MAMUJU, RADARSULBAR.CO.ID – Gelombang penolakan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja masih terus berlanjut.
Penolakan juga datang dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Mamuju. Dengan tegas PMII Cabang Mamuju meminta dengan hormat agar Presiden RI Joko Widodo mencabut Perppu tersebut.
Ketua PMII Cabang Mamuju, Syamsuddin mengatakan, Perppu Cipta Kerja tidak disetujui oleh DPR pada sidang paripurna, sehingga seharusnya tidak ada lagi Perppu atau UU Cipta Kerja. Bahkan seluruh aturan pelaksana keduanya pun harus dihapus.
“Sebagaimana diamanatkan konstitusi, maka aturan dan pelaksana kebijakan seperti Bank Tanah, Upah Murah, Proyek Strategis Nasional, Food Estate, Impor Pangan, Pengampunan Bisnis Ilegal di Kawasan Hutan, Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus dan lain-lain harus segera dihentikan pemerintah,” kata Syamsuddin, Selasa 14 Maret.
Diketahui bersama bahwa UU Cipta Kerja (Omnibuslaw) yang disahkan tahun 2020 kemarin telah menimbulkan gejolak perlawanan rakyat karena dianggap melalui kebijakan ini negara justru memberikan karpet merah terhadap investor asing tanpa mempertimbangkan keselamatan dan kepentingan rakyatnya.
Setelah beberapa kali gelombang perlawanan dilangsungkan, Mahkamah Konstitusi (MK) pun mengindahkan desakan penolakan rakyat dengan keluarnya putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja dianggap Inkonstitusional.
“Alih-alih melaksanakan putusan MK tersebut, parahnya pemerintah justru menerbitkan Perppu tentang Cipta Kerja tahun 2022 kemarin yang isinya secara substansi tidak jauh berbeda dengan UU Cipta Kerja sebelumnya. Ini tentunya sangat jelas adalah wujud pembangkangan konstitusi demi memenuhi kepentingan elit bisnis dan politik,” tuturnya.
Menurutnya, penerbitan Perppu Cipta Kerja terbukti digenting-gentingkan dan dipaksakan keberlakuannya. Perppu Cipta Kerja merupakan strategi pemerintah menghindari amar Putusan MK, yang membangkang konstitusi setelah sebelumnya Presiden dan DPR melawan hukum menyusun UU Cipta Kerja dengan proses yang tertutup.
“Hingga akhirnya diputus inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki baik formil maupun materiilnya secara partisipatif bermakna,” jelasnya.
Ia menambahkan, manuver politik presiden seharusnya telah kandas, sebab DPR tidak membahas dan menyetujui Perppu Cipta Kerja pada masa persidangan. Tidak dibahas dan disetujuinya Perppu Cipta Kerja, dengan demikian Perppu Cipta Kerja yang diterbitkan 30 Desember 2022 lalu harus batal demi hukum.
Sebagaimana diatur Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa: (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. (ajs)