Kemah Kebangsaan di Mamasa, Komitmen Pulihkan Mental Bangsa Yang Kian Merosot

  • Bagikan

MAMASA, RADARSULBAR.CO.ID — Tiga tokoh nasional menjadi pembicara pada forum Kemah Kebangsaan di Desa Wisata Tondok Bakaru, Mamasa, Sabtu 11 Maret 2023.

Pengamat Kebijakan Publik Indonesia, Andrinof Chaniago selaku moderator, sementara Cendekiawan Musim Muhammadiyah, Sukidi Mulyadi,  Wakil Sekjen PBNU, Muhammad Najib sebagai pemateri.

Forum itu fokus pada tema ‘Membangun Kecerdasan Berbangsa Melalui Temu Tokoh Agama, Generasi Muda Antar Umat Beragama di Sulbar.

Masing-masing dari mereka memaparkan  bagaimana peran tokoh agama mampu menciptakan kondusifitas di tengah ketidakpastian global dan berbagai isu politik yang mulai memanas. Tidak hanya itu, mereka juga menggambarkan apa saja tantangan dan ancaman Indonesia ke depan.

Sukidi Mulyadi sendiri merupakan seseorang yang telah 17 tahun melakukan ‘pertapaan intelektual’ di negara adidaya Amerika Serikat. Sekilas dari penampilannya orang tidak akan bisa mengira bahwa ia merupakan orang Indonesia pertama yang berhasil meraih gelar PhD dalam bidang studi Islam dari universitas terbaik dunia, Harvard.

Di Tondok Bakaru, pria kelahiran Sragen, Jawa Tengah pada 2 Agustus 1976, itu, menjelaskan betapa pentingnya hidup sederhana seperti yang dilakoni para pendiri bangsa. Ia tak menginginkan bangsa ini dihuni para pejabat yang gemar memamerkan hartanya di tengah rakyat yang tengah berupaya keras terbebas di belenggu kemiskinan.

Di forum itu, ia bahkan mencontohkan beberapa pendiri bangsa yang tak memiliki kekayaan materi tapi mampu melahirkan ide dan gagasan demi berdirinya bangsa ini.

“Agus Salim salah satu pendiri bangsa yang cerdas hidupnya dari kontrakan ke kontrakan. Bung Hatta tidak bisa membeli sepatu dan bahkan ingin dimakamkan di pemakaman masyarakat biasa. Soekarno bahkan menolak ketika rakyatnya ingin saweran untuk mendirikan rumah baginya. Begitu juga Natsir, seorang pemimpin islam yang sangat dikagumi,” sebut Sukidi, di hadapan para tokoh agama.

Penulis buku New Age: Wisata Spiritual Lintas Agama, itu, menggagas Indonesia Dreamy. Impian Indonesia untuk mengingat kembali bahwa ide besar lahir dari pendiri bangsa yang hidup di jalan sederhana.

“Kita mesti teladani pendiri bangsa, bukan hanya dari kalangan Islam, katolik, protestan, hindu dan sebagainya yang menunjukkan kecintaan pada tanah air. Sebab, kecintaan pada agama itu dengan sendirinya refleksi pada kecintaan atas tanah air,” ujarnya.

Pondasi negara Indonesia, lanjut Sukidi, adalah negara ketuhanan atau bangsa yang religius dan bebas kerukunan antar umat beragama. “Kita semua terpanggil untuk merawat, memajukan dan membuat Indonesia sesuai yang diinginkan para pendiri,” ujar Sukidi.

Pengamat Kebijakan Publik Indonesia, Andrinof Chaniago menyinggung soal cara berpikir dan sikap mental berbangsa yang terus terperosok. Hal itu bisa dilihat dari tertinggalnya Indonesia dari negara-negara lain di Asia.

“Sebagai bangsa indonesia, masih ada tantangan. Kalau kita ukur ada negara yang dulu relatif setara dengan kita, ekonomi dan pendidikannya jauh di bawah kita tetapi mereka mengalami kemajuan yang pesat dan menyalip posisi kita,” sebutnya.

Ia mencontohkan, China dan India di kisaran tahun 1970-1980 masih di bawah Indonesia. Namun dua negara itu bahkan sudan menyalip bangsa ini di segala sektor.

“Tentu tanpa mengurasi rasa hormat pada pemerintahan yang dahulu, kita harus menyadari bahwa kita disalip dan disusul karena kita masih punya kekurangan yang mesti diperbaiki. Kualitas SDM mesti perlu ditingkatkan, stunting dan kesehatan dan perbaikan ekonomi,” jelas Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Kabinet Kerja 2014-2015.

Kendati demikian, akademisi Universitas Indonesia itu menganggap peluang Indonesia masih terbuka lebar dengan menyentuh sektor-sektor yang tak dimiliki negara lain. Misal pertanian, kelautan dan pariwisata.

“Peluang Indonesia besar, termasuk di Sulbar  dengan Mamasa. Kita perlu kecerdasan, kekompakan sikap dan perilaku. Berkah pariwisata ini adalah berkah yang mesti dimanfaatkan. Pariwisata maju kalau umat beragama menjalankan agamanya dengan baik. Sebab pasti menghormati tamu dan menjaganya tetap bersih,” tuturnya.

Tak hanya itu, para tokoh agama di Sulbar juga mendapat pembelajaran dari Wakil Sekjen PBNU, Muhammad Najib. Bahwa sejarah kelam perang antar umat beragama di masa lalu dapat dijadikan pelajaran berharga agar tidak terulang lagi.

Dosen Fisip UGM yang telah melakukan berbagai penelitian terkait konflik antar umat beragama di Indonesia, menyebutkan, konflik terjadi selalu didasari oleh hal-hal kecil yang kemudian dibungkus oleh agama.

Karena itu, ia meminta agar para tokoh umat beragama bisa terus saling rangkul seperti yang ada di Mamasa. Menyambut tahun politik ini juga, ia meminta agar para tokoh agama berperan aktif menjaga kerukunan dan harmonisasi.

“Saya jatuh cinta pada Mamasa. Jatuh cinta karena keindahan alamnya, keramahtamahannya dan kerukunannya,” beber Najib.

Kebhinekaan dan kesatuan adalah dua hal yang mesti selalu dirawat bersama demi terciptanya kekuatan bangsa. “Apa yang terjadi di Mamasa adalah contoh bahwa Indonesia bisa menjadi contoh bagi dunia bahwa setiap agama bisa saling berdampingan,” tuturnya.

Najib menambahkan, perlu kerja keras untuk memastikan Indonesia bisa maju karena keterlibatan para tokoh lintas agama.

“Kita harus memulai dengan memilih pemimpin yang memiliki rekam jejak mendukung cita-cita kerakyatan bukan pada pemodal yang hanya memikirkan akumulasi,” tutur dia.

Pj Gubernur Sulbar, Akmal Malik mengatakan, Kemah Kebangsaan diharapkan mampu menciptakan masyarakat yang harmonis dan kuat untuk terus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di tengah perbedaan, khususnya bagi masyarakat Sulbar dan Mamasa.

“Saya harap tokoh-tokoh Sulbar dari berbagai agama tetap kompak dan terus menjaga persatuan di tengah perbedaan,” ujar Akmal. (ajs/jaf)

  • Bagikan