BANDUNG, RADAR SULBAR – Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGTL) Badan Geologi menyatakan, kondisi muka air tanah di wilayah Bandung Raya semakin menurun dan ketersediaannya tergolong kritis.
Kepala PATGTL Badan Geologi Rita Susilawati mengatakan, berdasar sumur pantau air, muka air tanah di Bandung turun menjadi sedalam 60-100 meter. Adapun kedalaman air tanah yang tergolong aman yakni sedalam 20-40 meter.
”Rata-rata air tanahnya turun itu menjadi (sedalam) 60-100 meter, jadi itu CAT (cekungan air tanah) Bandung Raya berkisar antara 60-100 meter, jadi ngebor sumur harus makin dalam,” kata Rita, Rabu (1/2).
Namun, dia mengatakan, pihaknya masih mengkaji penurunan permukaan tanah di Bandung Raya. Sebab, penurunan muka air tanah merupakan indikasi adanya penurunan permukaan tanah.
”Biasanya kalau air turun ya tanahnya turun, kita masih evaluasi data, indikasinya begitu,” ujar Rita Susilawati.
Berdasar analisisnya sejauh ini, lanjut dia, wilayah yang muka air tanahnya masuk ke kategori rusak ada di wilayah Rancaekek, Leuwigajah, serta beberapa wilayah lain. Penurunan muka air itu antara lain disebabkan oleh konsumsi air masyarakat yang memanfaatkan air tanah.
Selain itu, menurut dia, adanya pemakaian air oleh industri di sebuah wilayah itu juga menjadi faktor muka air tanah menurun semakin dalam.
Izin memanfaatkan air tanah untuk selain kebutuhan air masyarakat ada di pemerintah daerah. Namun kini perizinan itu berada di Kementerian Energi Sumber Daya Mineral yang menaungi Badan Geologi. Rita Susilawati memastikan akan berhati-hati untuk memberikan izin pemanfaatan sumber air tanah dalam skala besar, khususnya di wilayah CAT Bandung Raya.
Dia pun mengaku bakal berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk melakukan moratorium terkait permasalahan air tanah yang semakin turun di wilayah Bandung Raya. Sebab air merupakan kebutuhan primer untuk kehidupan masyarakat sehingga perlu kebijaksanaan guna mengatasi kondisi penurunan muka air tanah tersebut.
”Kalau di Jakarta kan moratoriumnya dilarang mengambil air tanah di daerah rusak, tapi di Jawa Barat itu belum dilarang karena setiap yang mengambil air tanah harus membangun sumur resapan. Cuma pembangunan sumur resapan itu belum dikaji efektivitasnya, apakah betul-betul menambah air tanah atau tidak,” terang Rita Susilawati. (jpg)