MUI Minta Hapus Skema Ponzi Dana Haji, Hak Bagi Hasil Investasi BPKH Bersifat Personal, Bukan Kolektif

  • Bagikan
Calon jamaah haji di Indonesia menyeberang jalan di kawasan Mahbas, Makkah, setelah beribadah di Masjidilharam 2022. --Dok. Jawa Pos--

JAKARTA, RADAR SULBAR – Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta pemerintah memotong atau menghilangkan skema Ponzi dalam pengelolaan dana haji.

Nilai manfaat atau hasil investasi dana haji harus dikembalikan kepada calon jemaah secara personal. Bukan bersifat kolektif dan sebagian digunakan untuk mengongkosi pemberangkatan jemaah tahun berjalan.

Sorotan adanya skema Ponzi dalam pengelolaan dana haji itu disampaikan Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Ni’am Sholeh dalam diskusi BPIH Berkeadilan dan Berkelanjutan yang digelar Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di Jakarta kemarin (30/1).

Dalam salah satu butir rekomendasi yang dia buat, tertera jelas adanya skema Ponzi dalam pengelolaan dana haji.

Dalam dunia investasi, skema Ponzi dikenal sebagai modus investasi bodong yang memberikan keuntungan kepada investor dari uang mereka sendiri atau uang yang dibayarkan oleh investor berikutnya. Model investasi seperti itu tidak bisa bertahan lama jika tidak ada investor baru yang masuk.

“Memotong dan menghilangkan mekanisme Ponzi dalam pengelolaan dana haji,” kata Asrorun membacakan usulan perbaikan pengelolaan dana haji dari perspektif keagamaan.

Dia menegaskan, skema Ponzi sudah telanjur berjalan. Karena itu, pemerintah, dalam hal ini BPKH, harus berani melakukan cut off sistem pendistribusian nilai manfaat atau hasil investasi dana haji yang berjalan selama ini.

Asrorun menegaskan, nilai manfaat itu harus dikembalikan kepada tiap-tiap calon jemaah haji (CJH) yang sudah melakukan setoran awal.

“Jangan sampai menzalimi jemaah. Laa tazlimuna wala tuzhlamuun (tidak ada pihak yang menzalimi dan dizalimi, Red),’’ sambungnya.

Dia mengatakan, dengan adanya sistem virtual account seperti saat ini, BPKH cukup mudah untuk melakukan identifikasi masing-masing calon jemaah. Termasuk dalam membagikan nilai manfaat tersebut.

Mantan ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) itu menjelaskan, kepemilikan dana haji yang dibayarkan tiap-tiap jemaah bersifat personal atau individual.

Karena itu, nilai manfaat hasil pengelolaan dana haji juga harus didistribusikan secara personal. Namun, yang berlaku saat ini bersifat kolektif.

Seluruh jemaah yang berangkat haji tahun ini menerima subsidi atau nilai manfaat yang sama. Padahal, bisa jadi lama mengantrenya berbeda-beda.

Kok bisa mereka mendapatkan subsidi sama? Inilah yang menjurus pada skema Ponzi. Supaya bisa mendapatkan nilai subsidi yang sama, mereka menggunakan nilai manfaat calon jemaah yang masih mengantre.

Skema Ponzi juga muncul dari penggunaan nilai manfaat yang kolektif atau campur aduk. Nilai manfaat dari dana haji calon jemaah yang baru masuk atau mendaftar ikut tersedot untuk ongkos subsidi jemaah yang berangkat. Begitu seterusnya, selama tidak ada pembagian nilai manfaat yang sepenuhnya bersifat personal atau individual.

Jika sistem pengelolaan dana haji tidak dibenahi, malapraktik yang berlangsung selama ini akan terus berjalan. Dia juga mengingatkan bahwa dalam misi penyelenggaraan haji, tugas pemerintah bukan sebagai biro travel.

Pada prinsipnya, Asrorun mengatakan, dana haji yang terkumpul boleh dikelola. Pengelolaannya bisa secara kolektif.

Selain itu, dia menegaskan, tidak ada salahnya negara memberikan subsidi kepada CJH. Meskipun dalam konteks pengelolaan haji di Indonesia, subsidi berasal dari dana jemaah sendiri. Subsidi tersebut tidak membatalkan pelaksanaan ibadah haji terkait adanya ketentuan istitha’ah.

Asrorun menegaskan bahwa istitha’ah adalah syarat wajib berhaji. Istitha’ah bukan syarat sah berhaji.

Jadi, ketika ada subsidi dalam pembayaran biaya haji, kemudian jemaah menjadi mampu dan diringankan, itu tidak memengaruhi sah atau tidaknya ibadah rukun Islam kelima tersebut.

Dalam kesempatan yang sama, anggota BPKH Indra Gunawan mengatakan, sejak 2018 instansinya sudah membagikan hasil investasi dana haji ke virtual account masing-masing calon jemaah.

Pada 2018, hasil investasi yang dimasukkan ke virtual account sebesar Rp 800 miliaran. Terakhir, pada 2022, hasil pengelolaan dana haji yang dimasukkan dalam virtual account calon jemaah Rp 2,1 triliun.

Sementara itu, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, pihaknya mendorong efisiensi pembiayaan haji untuk tiga hal.

Pertama, efisiensi biaya operasional dalam negeri seperti peralatan dan petugas haji yang sesuai kebutuhan. Kedua, efisiensi biaya luar negeri seperti tiket pesawat, hotel, dan konsumsi di Arab Saudi.

Efisiensi ketiga adalah optimalisasi pengelolaan dana haji oleh BPKH dengan cara menetapkan berapa nilai manfaat yang perlu dibebankan kepada BPKH.

Tujuannya, ada target yang jelas dalam mengelola dana haji. ”Itu semua menjadi kajian KPK sejak 2019 dan 2020,” kata Ghufron melalui keterangan tertulis kemarin.

Soal kenaikan ongkos naik haji (ONH), Ghufron menyebut bahwa sesuai Keppres Nomor 8/2022, nilai manfaat yang harus dikucurkan BPKH bertambah. Yakni, dari semula Rp 41,9 juta menjadi Rp 47 juta.

Sebelum biaya operasional haji di Arab naik, BPKH juga harus mengeluarkan Rp 4,2 triliun menjadi Rp 5,4 triliun. ”BPKH harus menambah sekitar 59–60 persen dari total biaya haji,” ujarnya.

Jika terus berlanjut, lanjut Ghufron, kondisi tersebut bisa membuat dana BPKH habis nilai manfaatnya.

Sebab, nilai manfaat telah digunakan untuk menutupi biaya jemaah haji yang sudah berangkat. “Siapa yang rugi? Tentu bukan yang telah berangkat, tetapi jemaah yang belum berangkat karena dia menanggung biaya jemaah yang telah berangkat,” jelas Ghufron. (jpg)

  • Bagikan

Exit mobile version