MAKASSAR, RADARSULBAR –Kasus yang menimpa mahasiswa Fakultas Teknik Arsitektur Unhas, Virendy, yang tewas saat mengikuti kegiatan Diksar & Ormed Mapala 09 FT Unhas di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros masih ditangani penyidik.
Namun, Tim Kuasa Hukum Keluarga Almarhum Virendy, Yodi Kristianto, Lusin Tammu, dan Cesar Depaska Kulape, melihat ada kejanggalan dalam penanganan kasus itu.
Dijelaskan, pihak keluarga almarhum selaku pelapor telah membeberkan bahwa luka-luka lebam di kepala, tangan dan kaki korban, bukti foto yang menunjukkan kondisi korban, sudah dapat dijadikan bukti petunjuk ditambah keterangan saksi-saksi untuk menetapkan tersangka, berdasarkan pasal 184 KUHAP. Sehingga menurut Tim Kuasa Hukum, dengan dua alat bukti sudah cukup bagi pihak penyidik menetapkan tersangka.
“Keluarga telah mengemukakan sejumlah kejanggalan dalam meninggalnya Virendy. Informasi yang simpang siur mengenai bagaimana proses evakuasi dan penanganan kesehatan Virendy pada waktu kritis, hingga indikasi ada upaya untuk menghalang-halangi keluarga untuk mengetahui bagaimana sebenarnya situasi dan kondisi di lapangan,” kata Yodi Kristianto kepada awak media, Selasa 31 Januari 2023.
Kata Yodi, keluarga Virendy juga tidak mendapatkan laporan dari pihak penyelenggara atas kondisi sebenarnya almarhum pada saat berada di RS Grestelina, yang mana mereka hanya mengatakan bahwa kondisi Virendy kritis, hingga keluarga mencari di Ruang IGD, tetapi akhirnya mendapati almarhum telah berada di Kamar Mayat.
“Ada ketidakkonsistenan informasi yang diberikan pihak Mapala 09 FT Unhas saat diberondong pertanyaan oleh pihak medis RS Grestelina maupun pihak keluarga yang ingin mengetahui secara pasti penyebab kematian Almarhum,” tutur Yodi Kristianto, katanya.
Lanjut, ia mengutip informasi dari kliennya, bahwa Ketua Mapala 09 FT Unhas (Ibrahim) mengatakan kepada keluarga Virendy bahwa panitia dan peserta yang lain tetap melanjutkan kegiatan Diksar, padahal setelah ditelusuri, semua peserta telah dipulangkan ketika proses evakuasi Virendy.
“Demikian juga ketika dicecar tanya oleh pihak medis RS Grestelina mengenai keberadaan panitia yang menurut Ibrahim sedang menuju Polres Maros saat mereka mengantarkan Virendy ke RS Grestelina, padahal menurut Ayah almarhum, James, tidak ada laporan polisi mengenai adanya korban dalam pelaksanaan Diksar,” urainya.
Menurutnya, sewajarnya kliennya menaruh kecurigaan bahwa panitia menyembunyikan sesuatu.
“Misalkan pernyataan bahwa Viren berada dalam kondisi kritis saat evakuasi, tetapi bukannya dievakuasi ke rumah sakit terdekat, malahan korban di bawa ke RS Grestelina Makassar. Saat ditanyai keluarga, Ibrahim menjawab “Itu keputusan rapat.” Apakah Anda harus merapatkan dahulu saat seseorang sudah hampir meregang nyawa ? Bukankah ada berapa rumah sakit yang Anda lewati saat perjalanan dari Maros ke Makasaar? Dan mengapa harus RS Grestelina, sedangkan Anda tahu seberapa jauh jarak Maros dengan Makassar ?,” lanjutnya.
Sebab itu, Yodi menilai sejak awal ada yang salah dengan kasus itu.
“Mulai dari tidak adanya izin kegiatan dari pihak kepolisian, tidak ada pendamping dari pihak kampus, tidak mengikutkan tim medis, hingga keberadaan ketua panitia yang hingga hari ini belum jelas untuk dimintai keterangan,” ucapnya lagi.
Bahkan, lanjit Yodi, sejauh ini tidak ada satupun dari pihak kampus yang datang secara kelembagaan, menyampaikan dukacita atau santunan secara langsung ke pihak keluarga.
“Bagaimanapun almarhum adalah bagian dari keluarga besar kampus Unhas, mengapa dari dekanat hingga Rektorat tidak satupun yang memiliki waktu untuk menemui keluarga Virendy ? Bahkan dari informasi yang kita dapatkan dari rekan-rekan media, dan ini sangat saya sesalkan, tetapi kita punya saksi, bahwa pihak kampus seakan mencuci tangan terkait musibah ini, bahwa karena kegiatan dilakukan di luar kampus, maka pihak kampus tidak bertanggung jawab akan hal ini, bahwa keluarga telah mengikhlaskan, bahwa Pimpinan kampus akan menemui keluarga tetapi sampai hari ini sekedar pencitraan belaka,” beber Yodi Kristianto.
“Saya pernah menjadi mahasiswa dan tahu hampir mustahil setiap kegiatan di luar kampus diadakan tanpa seizin dan sepengetahuan pihak kampus dan saya tegaskan, pihak keluarga mengikhlaskan bukan berarti proses hukum tidak berlanjut. Ada nyawa yang hilang di sini dan tidak satu orang tua pun yang ikhlas begitu saja anak mereka menjadi korban secara sia-sia tanpa kejelasan dan proses hukum yang pasti. Jika tidak ditindak, maka tidak ada yang akan menjamin kejadian serupa tidak akan terulang lagi. Apakah Anda mau anak-anak Anda yang seharusnya pergi menimba ilmu di kampus malahan meregang nyawa ? Anda tidak hanya mengorbankan masa depan mereka tetapi juga masa depan keluarga mereka,” lantangnya.
“Saya bahkan dengan melihat foto-foto jenazah saat dimandikan dapat menyimpulkan, setidaknya korban mendapat pukulan benda tumpul dengan adanya luka lebam di kepala, korban mungkin juga dianiaya dan diseret yang dibuktikan dengan adanya luka lebam di bagian punggung, tangan dan kaki,” nilai Tim Kuasa Hukum.
“Penyidik sepatutnya menduga bahwa telah terjadi tindak pidana pembunuhan dan memenuhi unsur pasal 338 KUHP. Pembunuhan adalah delik biasa dan tidak dibutuhkan aduan untuk bisa memprosesnya,” demikian komentar Tim Kuasa Hukum.
Bahkan jika terbukti ada upaya untuk menghalang-halangi proses hukum dalam penanganan kasus Virendy, juga bisa dijerat pidana berdasarkan pasal 221 KUHP.
“Kami akan memastikan bahwa pihak-pihak terkait akan diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, baik apabila terbukti secara sengaja ataupun karena kelalaiannya menyebabkan hilangnya nyawa saudara Virendy,” tegas Yodi Kristianto.
“Kami akan menempuh jalur hukum, baik pidana maupun perdata untuk memastikan pemenuhan kepentingan hukum keluarga almarhum Virendy,” tutupnya. (*)