Oleh Muh. Sukri (Dosen STISIP Bina Generasi Polewali)
Sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, idealnya Pemilu (termasuk Pilkada) tidak hanya diikuti oleh jumlah pemilih yang banyak (kuantitas) sehingga angka partisipasi menjadi tinggi, melainkan juga berlangsung dalam suasana yang kompetitif, transparan, adil dan akuntabel (kualitas), serta dapat menghasilkan pilihan- pilihan pemimpin politik yang kompeten dan berintegritas. Dengan kata lain, pemilu bukan hanya menghasilkan tingkat partisipasi yang tinggi, tetapi juga menghasilkan mutu partisipasi yang berkualitas.
Untuk menghasilkan pemilu yang berkulitas dengan partisipasi yang juga berkualitas ini diperlukan prakondisi tertentu yang, salah satunya adalah performance para pemilih (voters) yang melek, cerdas dan kritis secara politik, sehingga preferensi politiknya bersifat rasional (rational choice).
Pemilih rasional (cerdas dan kritis) secara sederhana dapat digambarkan sebagai pemilih yang bukan saja memiliki pengetahuan dan kesadaran elektoral (kepemiluan), melainkan juga bebas dari berbagai bentuk intimidasi; memiliki daya tahan terhadap serangan atau bujukan transaksional yang tidak sehat dan melanggar aturan seperti money politics; serta memahami betul arti penting suara yang mereka miliki dan konsekuensi politik dari pilihannya di kemudian hari.
Terkait performansi pemilih,dua tipologi pembentukan perferensi pemilih dalam pemilu; 1) kecenderunan munculnya pemilih patronase, yakni pemilih yang mendasarkan pilihannya pada ketokohan dan figur tertentu, yang dianggap dapat mencitrakan dirinya sebagai pemimpin; 2) munculnya fenomena pemilih ABS (Asal Bapak Senang), yakni pemilih yang tidak memiliki rasionalitas dan hanya menjadi pemilih follower yang mengikuti suara-suara mayoritas.
Secara hipotetis para pemilih irrasional atau pemilih yang “buta politik” (political illiteracy) ini memberikan kontribusi (berdampak) terhadap pelaksanaan dan hasil pemilu yang tidak berkualitas; pemilu yang diwarnai oleh praktik-praktik transaksional seperti money politics dan mobilisasi; pemilu yang melahirkan lebih banyak para kandidat terpilih (baik pemilu legislatif maupun pemilu eksekutif) yang nir-integritas dan jauh dari komepeten.
Para pemilih irrasional yang masih jauh dari kategori cerdas dan kritis secara umum tersebar pada segmen pemilih pemula. Yakni warga masyarakat yang terdaftar dan akan menggunakan hak pilih untuk pertama kalinya sebagai pemilih pada suatu pemilu. Secara demografis segmen pemilih pemula ini mayoritas terdiri dari para pelajar, mahasiswa dan/atau pemuda yang berusia antara 17-22 tahun pada saat suatu pemilu atau pilkada diselenggarakan.
Dalam konteks pemilu nasional, jumlah pemilih pemula diperkirakan berada dalam kisaran angka konstan antara 20-30 persen dari pemilu ke pemilu. KPU menghitung jumlah pemilih pemula pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 mencapai 1,2 juta jiwa. Mereka tersebar di 34 provinsi se-Indonesia Pada Pemilu 2024 Pemilih pemula tampaknya akan mendominasi pemilihan umum.
Angka ini tentu merupakan jumlah yang signfikan dalam peta kontestasi perebutan suara oleh para kontestan partai politik dan kandidat. Itu sebabnya setiap kali perhelatan pemilu digelar, partai-partai politik dan para kandidatnya menjadikan para pemilih pemula ini sebagai salah satu sasaran bidik yang penting dalam sosialisasi dan kampanye mereka.
Oleh karena itu pula, para pemilih pemula ini penting mendapat perhatian untuk ditingkatkan kecerdasan dan daya kritisnya sebagai pemilih sehingga pilihan-pilihan politik (voting behavior) mereka masuk kedalam kategori sebagai pemilih rasional yang dengan sendirinya akan berkontribusi positif pada dihasil pemilu yang berkualitas dengan performa partisipasi yang juga berkualitas.
Untuk meningkatkan kecerdasan dan daya kritis para pemilih pemula, berbagai pihak utamanya KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu, pemerintah maupun peserta pemilu (khususnya partai politik) telah melakukan berbagai upaya pendidikan pemilih (voter education) terutama melalui kegiatan-kegiatan sosialisasi.
Hanya saja, oleh karena keterbatasan ruang waktu, media dan metodenya, kegiatan-kegiatan sosialisasi ini praktis kurang memberikan dampak yang berarti untuk menumbuhkan kecerdasan dan daya kritis (literasi politik) pemilih pemula.
Secara umum sosialisasi pemilu hanya berhasil meningkatkan pengetahuan dan kesadaran teknis elektoral seperti kapan, dimana dan bagaimana cara memberikan suara pada hari dan tanggal pemungutan suara dilakukan.
Sementara aspek-aspek substantif elektoral seperti arti penting setiap suara yang diberikan; pentingnya membangun otonomi dan kemandirian politik; dampak buruk dari praktik-praktik transaksi politik yang tidak sehat seperti money politics; dan dampak atau konsekuensi pilihan politik di kemudian hari, cenderung terabaikan dan gagal ditumbuhkan secara masif sebagai bentuk kesadaran substantif di kalangan pemilih pemula.
Bertolak dari pemikiran dan fakta-fakta fenomenal itulah penting dicarikan dan diupayakan terus menerus model kegiatan sosialisasi sebagai bagian dari pendidikan politik yang dapat menumbuhkan dan memperkuat kecerdasarn dan daya kritis para pemilih pemula secara lebih luas, mendalam dan berarti.
Dalam konteks kebutuhan inilah penulis menawarkan penerapan konsep pembelajaran kontekstual (contextual teahing and learning) sebagai instrumen pembelajaran untuk meningkatkan literasi politik (melek politik) para pemilih pemula, yang diharapkan dapat memberikan dampak positif dan konstruktif terhadap pengetahuan- pengetahuan elektoral sekaligus kesadaran- kesadaran politik yang lebih substantif di kalangan pemilih pemula, khsususnya pada segmen para pelajar tingkat SMA/MA/SMK.(rls)