MAMUJU, RADARSULBAR — Proyek pembangunan Mamuju Arterial Ring Road (MARR) Trase TPI-Timbu masih berpolemik.
Penolakan warga sebab adanya perubahan rute yang akan dilalui proyek nasional tersebut. Dianggap akan memberi dampak secara sosial dan ekonomi, termasuk menjadi pemicu rawan bencana.
Sebaliknya, Kepala Dinas PUPR Sulbar Muhammad Aksan mengatakan pembangunan jalan sepanjang 1,8 Kilometer itu justru akan menguntungkan masyarakat.
Bahkan, soal bencana, kata Aksan, perubahan rute tersebut menjadi solusi atas status Sulbar yang masuk wilayah rawan bencana.
Adapun soal rute MARR. Dia mengaku awalnya dilakukan kajian rute MARR dengan memilih garis pantai dengan sasaran menjadikan MARR sebagai jalur distribusi logistik di Jalan Nasional Lintas Barat Sulawesi. Lalu tahap pertama mendapat persetujuan dari pemerintah pusat
dengan rute kantor Gubernur Sulawesi Barat ke Jalan Yos Sudarso sepanjang 4,7 kilometer.
Kemudian MARR TPI-Timbu kembali diusulkan dengan rute bibir pantai ke Bandara Tampa Padang. Setelah dilakukan kajian terkendala aturan yang tidak memperbolehkan jalan nasional dibangun secara paralel.
“Sehingga pada saat itu kita menyetujui ada beberapa titik dimana kita harus masuk ke jalan nasional dan dititik lain melalui bibir pantai lagi, sehingga muncullah pembangunan akses bandara yang kita lihat melalui pantai,” jelas Aksan, Rabu 7 Desember 2022.
Pertimbangan lain, pada 2021, bercermin pada kondisi saat Mamuju terdampak Gempa Bumi 6,2 Magnitudo pada 15 Januari 2021, Terjadi kemacetan di Jalan Nasional tepatnya Simpang 5 Kali Mamuju. Atas dasar itulah dilakukan perubahan jalur MARR TPI-Timbu yang melalui lahan kosong di perkampungan. Tambi dan Kampung Baru, lalu mendapat persetujuan pemerintah pusat.
Setelah disetujui maka Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Sulbar melakukan penyusunan dokumen lingkungan yang diterbitkan dari Dinas LHK Mamuju.
Diketahui proyek 1,8 Kilometer itu terlebih dahulu melakukan pembebasan lahan. Jika luasan lahan yang dibebaskan dibawah lima hektar maka diperlukan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), dokumen itupun terpenuhi sehingga Kementerian menganggarkan untuk fisiknya, dan membantu pemprov untuk pembebasan lahannya.
“Sesuai dengan aturan Kementerian Lingkungan Hidup dimana untuk lahan dibawah 5 hektare itu cukup dengan UKL-UPL bukan AMDAL,” jelas Aksan.
Karenanya, Aksan berharap masyarakat dapat menjadikan proyek tersebut menjadi peluang meningkatkan perekonomian masyarakat, khususnya bagi masyarakat Tambi dan Kampung Baru. (*)