MAMUJU, RADARSULAR – Stunting dapat didefenisikan sebagai kondisi gagal tumbuh dan berkembang yang dialami oleh anak-anak. Sedangkan stunted, yang mengacu pada pertumbuhan panjang atau tinggi badan anak, merupakan salah satu penanda awal stunting. Tanda lainnya adalah kemampuan kognitif yang rendah dan gampang terkena penyakit tidak menular yang hanya bisa diketahui setelah anak berusia lebih dewasa.
Stunting merupakan masalah gizi yang terjadi dalam dalam jangka waktu panjang atau kronis. Penyebab utamanya adalah kurangnya asupan gizi sejak masa kehamilan. Akan tetapi penyebab stunting tidak sesederhana itu. Banyak faktor lain yang menjadi penyebab tidak langsung, seperti; kebersihan lingkungan, akses terhadap fasilitas kesehatan dan makanan bergizi, kondisi ekonomi keluarga atau pengetahuan keluarga itu sendiri.
Untuk menjelaskan tentang bahaya stunting, diperlukan pemahamanan terkait periode kritis 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Periode 1000 HPK terjadi sejak masa konsepsi hingga anak berusia kurang lebih 2 tahun.
Pada masa kehamilan, terjadi masa-masa perkembangan organ tubuh yang sangat penting seperti otak, jantung, paru-paru dan organ lainnya. Apabila ibu hamil tidak mengosumsi makanan bergizi yang cukup, maka akan memiliki risiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan masalah kesehatan. Apabila pada masa 1000 HPK terjadi kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, maka akan terjadi gangguan pada perkembangan otak, gangguan pertumbuhan dan penurunan kemampuan tubuh melaksanakan fungsinya. Gangguan pada ketiganya sering disebut sebagai sindrom stunting.
Kondisi masyarakat Indonesia saat ini, khususnya masyarakat Sulawesi Barat, masih menganggap stunted atau anak pendek dibanding kelompok anak-anak seusianya itu wajar dan dikaitkan dengan faktor genetik orang tua.
Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 yang dilaksanakan Kementerian Kesehatan, angka prevalensi stunting di Indonesia pada 2021 sebesar 24,4 persen sedangkan Provinsi Sulawesi Barat sebesar 33.8 persen, cukup jauh dari rata-rata nasional.
Pencegahan stunting sebenarnya dapat dilakukan sedini mungkin. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan asupan bergizi seimbang sejak usia remaja, wanita usia subur, ibu hamil, ibu menyusui, dan bayi (diatas enam bulan) dan balita. Gizi seimbang merupakan prinsip pemberian makan yang terdiri dari sumber karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin dengan jumlah dan kualitas yang baik.
Keluarga juga berperan penting dalam pencegahan stunting, setiap anggota keluarga dapat berperan penting dalam mempengaruhi status gizi anggota lainnya. Suami dapat berbagi beban kerja di rumah dengan istri, memotivasi istri untuk makan makanan bergizi atau memotivasi istri mengosumsi tablet tambah darah ketika hamil. Orangtua atau mertua dapat membantu mempersiapkan makanan pendamping ASI atau mengasuh cucu ketika kedua orang tua bekerja diluar.
Pencegahan stunting juga dapat dilakukan dengan deteksi dini melalui pengukuran panjang badan dan plotting hasil pada kurva pertumbuhan. Pengukuran harus dilakukan dengan alat yang tepat oleh orang yang sudah terlatih dan terampil melalui kegiatan Posyandu.
Pencegahan stunting secara umum merupakan kerjasama lintas sektor. Pemerintah telah melaksanakan intervensi Penurunan Stunting secara konvergen, holistic, integratif dan berkualitas. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mendapatkan amanat sebagai Ketua Pelaksana Program Percepatan Penurunan Stunting, yang ditindaklanjuti dengan diterbitkanya Peraturan BKKBN Nomor 12 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia (RAN PASTI) Tahun 2021-2024.
Peraturan BKKBN tersebut memuat panduan pelaksanaan koordinasi, sinkronisasi dan integrasi antar lintas sektor guna mempercepat target penurunan prevalensi stunting secara Nasional menjadi 14 persen, dan provinsi Sulawesi Barat menjadi 18,61 persen pada tahun 2024. (adv)