Saya pun jadi ingat salah satu teman kuliah di program doktoral UT yang berprofesi sebagai pebisnis. Di salah satu sesi diskusi ia bercerita, hampir persis dengan kisah di atas.
Beberapa tahun lalu, perusahaannya membuka hotel di Bali. Modal yang dikeluarkan perusahaannya hanya untuk membeli lahan. Sementara pembangunan hotel menggunakan modal pihak ketiga.
Setelah hotelnya kelar, mereka menggandeng invetor lainnya untuk menjalankan manajemen hotelnya. Maka otomatis segala biaya operasional hotel tidak lagi menjadi tanggungan perusahaannya. Mereka hanya tau mendapatkan fee per tahun dari pihak manajemen hotel. Tidak dipusingkan lagi dengan ribetnya manajemen hotel.
Sekali lagi, kata kuncinya adalah asset harus bekerja keras.
Kisah pengalaman di atas penting dibagikan kepada UMKM kita agar mereka pun dapat mengetahui strategi dan kiat jitu dalam memanfaatkan sumberdaya mereka menjadi modal berharga. Literasi keuangannya perlu diperkuat, sehingga tidak menjadi orang yang selamanya hanya bekerja keras, namun juga cerdas dalam memanfaatkan asset yang dimiliki untuk menaikkan level bisnisnya.
Hal ini penting, karena hasil penelitian Yuliarmi (2020), ditemukan fakta bahwa permodalan menjadi kendala utama bagi UMKM dalam meningkatkan kinerjanya, di tengah keterbatasan mereka dalam mendapatkan akses pembiayaan di lembaga keuangan.
Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang telah diprogramkan pemerintah, melalui memberikan subsidi bunga dalam mengembangkan usaha dan didukung oleh lembaga perkreditan UMKM, belum sepenuhnya mampu mendorong penyaluran kredit UMKM.
Kondisi tersebut juga masih dialami para pelaku UMKM di kabupaten Majene. Dari hasil penelitian Atjo Mea (2021), menunjukkan bahwa untuk cukuran KUR melalui BRI, baru dapat dinikmati oleh 454 UMKM dari total 7.000 UMKM yang ada di Majene.
Boleh jadi salah satu kendala mereka adalah kurangnya literasi keuangan. Terutama pengetahuan tentang permodalan belum sepenuhnya dimiliki. Bisnis hanya dijalankan turun temurun secara tradisional. (***)