“Tetapi tidak menutup mata juga bahwa memang ada insiden-insiden ekstrim lain yang terjadi di media sosial yang barang tentu telah membuat kita khawatir dan harus awas terhadap perkembangan yang terjadi di media sosial,” kata dia.
Enda mengungkapkan, fenomena hoaks dan hate speech sejatinya juga memiliki faktor pemicu.
Terlebih ketika 2014-2016, frekuensinya cukup tinggi, yang sampai hingga saat ini juga belum kunjung hilang.
Itu terjadi dipicu kejadian di dunia nyata terutama ketika ada konsentrasi politik, insiden bencana alam, hingga peristiwa nasional.
Menjelang tahun politik 2024, Enda memprediksi, medsos akan kembali dimanfaatkan menjadi arena peperangan opini.
Pasalnya, jangkauan medsos dan kemudahan aksesnya dipilih karena efisiensinya dalam penyebaran informasi.
“Efeknya yang luas dan murah dan sudah terlihat dari sekarang bagaimana para politisi, capres, partai politik mulai membangun kanal-kanal komunikasinya di media sosial,”ujarnya.
Ia menekankan, harus ada kesadaran bahwa kontestasi politik bukan berarti permusuhan dan jangan sampai menimbulkan perpecahan.
Sehingga efek kontestasi politik tidak berujung pada perpecahan bangsa, tapi justru seluruh anak bangsa harus saling menghargai.
Setelah kontestasi berakhir maka yang menang adalah semua masyarakat sebagai bangsa Indonesia.
“Semua pengguna media sosial bertanggung jawab terhadap semua tindakan yang dilakukannya di media sosial.
Ada aturan agama, ada aturan dari pemilik platform yang biasa kita sebut ketentuan layanan dan juga ada aturan hukum yang berlaku,” ujarnya.
Di atas itu semua itu, kata Enda, ada etika dan sanksi sosial atas perilaku yang dilakukan oleh pengguna media sosial.
Sanksi seperti blocking, unfriend atau unfollow atau mute.
Semua itu adalah sanksi sosial yang bisa berlaku pada siapapun yang melanggar etika sosial di media sosial. (fin)