Timsel Bawaslu Sulbar Harus Memperhatikan 30 Persen Keterwakilan Perempuan

  • Bagikan

Oleh: Deka Widiato Iskandar (Alumni Sekolah Kader Pengawas Partisipatif (SKPP) Bawaslu Provinsi Sulbar)

TAHAPAN rekrutmen calon anggota Bawaslu Provinsi Sulawesi Barat masa tugas 2022-2027 sudah berlangsung. Tim seleksi (Timsel) telah melakukan proses pengumuman pendaftaran, Senin 13 Juni 2022. Sesuai amanat UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, setelah melakukan penelitian berkas, Tim seleksi calon anggota Bawaslu Sulbar  menetapkan 50 nama yang lolos di tahap Penelitian/Seleksi Administrasi.

Timsel telah mengeluarkan Pegumuman nomor: 11/TS/VII/2022/SULBAR, tentang Pengumuman Hasil Penelitian Berkas Administrasi Calon Anggota Bawaslu Sulbar. Ada 50 Calon Anggota Bawaslu Sulbar yang dinyatakan lolos seleksi Administrasi diantaranya ada 45 Laki-laki serta 5 Perempuan.

Sebagai salah satu Alumni Sekolah Kader Pengawas Partisipatif (SKPP) Bawaslu Provinsi Sulbar menegaskan agar Timsel bekerja Profesional sesuai regulasi yang berlaku dan memperhatikan 30% Keterwakilan Perempuan.

Pada dasarnya affirmative action atau memperhatikan keterwakilan minimal 30% perempuan di Bawaslu merupakan amanat dari Pasal 10 ayat (7) dan Pasal 92 ayat (11) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Dimana affirmative action ini merupakan cara yang dipilih oleh negara sebagai jawaban terhadap kondisi sosial yang diskriminatif, adanya ketidaksetaraan dan marginalisasi disegala bidang kehidupan akibat struktur patriarki dilevel publik dan privat (Hendri Sayuti: 2013).

Keterwakilan perempuan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan demokrasi dan politik. Hal tersebut agar perempuan mampu mengakomodasi dan mengekspresikan kepentingannya secara massif bukan hanya dalam konteks menyuarakan saja, namun juga perempuan mampu memiliki akses kebijakan dengan menduduki suatu jabatan publik tertentu, seperti penyelenggara pemilu.

Keterwakilan perempuan ini tidak boleh hanya dilihat sebagai bentuk politik ide saja, melainkan juga menuntut agar perempuan hadir dalam suatu jabatan tertentu agar perempuan tidak hanya diberikan kesempatan untuk menyuarakan, namun juga sebagai pelaku dalam mengambil dan memperjuangkan kebijakan dengan akses yang dimiliki dari jabatan tersebut. Dalam hal ini, kehadiran perempuan dalam jabatan publik tersebut, bukan hendak mendorong suatu kebijakan yang hanya mementingkan perempuan saja, melainkan mendorong agar terjadinya dialektika antara laki-laki dan perempuan dalam jabatan publik dalam melahirkan suatu kebijakan yang berkeadilan gender.

Secara formal, peningkatan keterlibatan perempuan sudah diatur dengan baik dalam undang-undang. Peningkatan keterlibatan perempuan dalam politik didorong melalui tindakan afirmatif sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan di partai politik, lembaga legislatif, maupun di lembaga penyelenggara pemilu.

Namun dalam praktiknya, perempuan terbentur langit-langit kaca dalam peningkatan keterlibatan secara politik. Perempuan mengalami halanganhalangan yang seringkali kasat mata, tetapi sangat nyata dirasakan dan menghambat perempuan untuk terlibat secara politik.
Ada beberapa hambatan yang sering dialami oleh perempuan dan menghalangi dalam partisipasi sebagai penyelenggara pemilu. Pertama, budaya patriarkis seperti kepemimpinan dalam masyarakat yang berpusat pada tokoh laki-laki. Kedua, soal pengetahuan kepemiluan yang masih sulit bagi perempuan. Ketiga, alasan geografis yang menghambat perempuan mengakses pemenuhan hak politik.

Secara tegas hak perempuan untuk berpolitik dijamin dalam Convenstion on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women/CEDAW. Konvensi ini menekankan penghapusan diskriminasi kaum hawa di dalam politik serta kesepakatan internasional yaitu rencana aksi Beijing yang sudah diratifikasi Indonesia. Dalam tujuan pembangunan jangka pendek (SDGs), Indonesia ditunjuk sebagai negara model untuk mendorong terwujudnya keterwakilan perempuan di dalam bidang politik.

Sayangnya, dalam prosesnya, Indonesia punya capaian angka-angka yang menandakan keterwakilan perempuan semakin senyap di kelembagaan politik. Faktor penyebab semakin senyapnya peran perempuan dalam dunia politik Indonesia yaitu sempitnya ruang gerak yang diakibatkan oleh perubahan peta politik yang menjadi lebih tertutup, dan para perempuan yang merupakan aktivis dan tergabung dalam partai politik cenderung terpengaruh pada perubahan peta politik tersebut.

Semua hal tersebut mengakibatkan suara-suara rakyat yang kritis pun menjadi semakin lemah untuk didengarkan. Yang harus dilakukan untuk para perempuan guna menghadapi tangan ke depan harus dapat bersinergi dalam menyelesaikan perubahan-perubahan peta politik yang ada. Selain itu kesadaran pentingnya peran perempuan untuk memperjuangkan hak sesama perempuan harus lebih luas disadari rakyat Indonesia.

Berdasarkan Interparliamentary Union (IPU) di tingkat ASEAN, Indonesia menempati peringkat keenam. Keterwakilan perempuan yang berada di parlemen Indonesia berada di bawah 20% tepatnya 19,8%. Bila dibandingkan dengan rata-rata dunia, proporsi wanita dalam parlemen di Indonesia masih jauh tertinggal.

Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, khususnya dalam pelaksanaan pemilu, kepentingan perempuan sebagai pemilih harus diperhatikan secara matang. Karena pemilih perempuan lebih banyak dari pada pemilih laki-laki seperti pada pelaksanaan pemilu tahun 2019, dimana jumlah pemilih perempuan lebih banyak sekitar 126 ribu dibandingkan pemilih laki-laki, dimana jumlah pemilih laki-laki di dalam negeri mencapai 92.802.671 sedangkan pemilih perempuan di dalam negeri mencapai 92.929.422. Oleh karena itu, mendudukan perempuan dalam penyelenggara pemilu merupakan suatu urgensi yang harus diwujudkan.

Data terkait jumlah sumber daya manusia yang menjabat sebagai pimpinan Bawaslu. Jumlahnya Kurang lebih 188 orang dari 34 provinsi, terdapat jumlah perempuan sebanyak 38 atau 39 orang. Jadi, persentasenya baru sekitar 20%.

Lalu di 514 Bawaslu Kabupaten/Kota, Jumlah Anggota Bawaslu mencapai 1.914 orang dengan jumlah perempuannya sekitar 322 orang. Persentasenya sekitar 17%. Jadi, ini memang masih jauh dari target keterwakilan perempuan afirmasi sebesar 30%.

Saya mengajak kepada seluruh pemuda maupun elemen masyarakat untuk mengawasi Seleksi Anggota Bawaslu Provinsi Sulawesi Barat.

Proses Seleksi Anggota Bawaslu Provinsi Sulawesi Barat harus diawasi bersama karena memegang peran penting untuk melahirkan orang-orang yang akan menyelenggarakan pemilu di tanah Malaqbi Sulawesi Barat ini. Baik buruk penyelenggara pemilu, salah satunya bergantung pada profesionalitas, independensi, dan integritas Penyelenggara. (*)

  • Bagikan