MAMUJU, RADARSULBAR — Penanganan stunting perlu sentuhan serius, agar persentase kasus tidak meningkat. Tidak melulu menyiasatinya dengan hal-hal bersifat seremoni semata.
Komitmen pemerintah, mulai tingkat desa hingga provinsi dibutuhkan guna menurunkan pencapaian buruk angka nasional. Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI), di tahun 2021 Sulbar masih menempati posisi kedua setelah Nusa Tenggara Timur (NTT) angka prevalensi balita stunting, yaitu 33,8 persen.
Sekretaris Provinsi (Sekprov) Sulbar, Muhammad Idris mengaku, persoalan ini merupakan tantangan yang perlu dikeroyok agar mendapatkan hasil maksimal. “Kita itu masih nomor dua. Ini pekerjaan berat bagi kita. Jadi tidak boleh lagi ada level pemerintahan di Sulbar yang tidak memprioritaskan stunting. Karena kalau tidak seperti itu, selamanya kita akan tertinggal,” kat Idris, Kamis 2 Juni 2022.
Menurut Idris, penanganan stunting tidak boleh sekadar menggugurkan rutinitas. Tetapi bagaimana program yang ada, bisa mengurangi angka stunting. “Komitmen pimpinan daerah sangat perlu. Selanjutnya dukungan anggaran yang dibutuhkan tim,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi II DPRD Sulbar, Hatta Kainang menilai, selama ini upaya penanganan stunting di Sulbar belum mumpuni. Hanya sekadar upaya menggugurkan kewajiban. Ia berharap, PJ Gubernur Sulbar, Akmal Malik bisa menjadi pilot penuntasan kasus tersebut.
“Soal stunting ini harus menjadi gerakan massif, Pj Gubernur harus jadi panglima. Karena kalau bukan gerakan kolaborasi, hanya akan jadi pepesan kosong,” ujarnya.
Ia mengaku, masalah stunting perlu penguraian masalah terlebih dahulu. Mulai dari masalah ibu hamil, ibu menyusui, anak remaja (usia subur,), sampai bayi hingga 56 bulan.
“Itu semua harus diintervensi. Lagian kalau persoalan Covid dan Vaksin bisa masif, kenapa tidak kalau kasus stunting. Ayo kita gelorakan itu,” tuturnya.
Kepala Dinas Kesehatan Sulbar, drg Asran Masdy menjelaskan bahwa penanganan stunting bersifat multisektor. Salah satu penyebab stunting adalah pernikahan usia terlalu dini. “Pernikahan anak usia dini ini boro-boro mau menjaga kesehatan kehamilan dan anak, mengurus dirinya saja belum maksimal,” ucapnya.
Sementara, Kepala Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia, Bappeda Sulbar, Andi Alma Aliuddin, menyatakan, trend dari 2019 sampai 2021 sejatinya mengalami penurunan. Namun, hal itu tidak mengubah posisi Sulbar sebagai tertinggi kedua di bawah Nusa Tenggara Timur (NTT). “Ada tren penurunan 6,5 persen, tadinya 2019 hanya 40,3 turun menjadi 33,8 persen tahun 2021,” tandasnya. (ajs/dir)