Menengok Korban Banjir Bandang Malunda , Bertaruh Hidup di Tengah Dua Ancaman Bencana

  • Bagikan
JEMUR PAKAIAN. Warga di Desa Bambangan, Kecamatan Malunda, menjemur pakaian yang terendam banjir. Warga juga disibukkan membersihkan lantai rumah yang dipenuhi lumpur, Sabtu 28 Mei 2022.--adhe junaedi sholat/radarsulbar--

MEREKA kehilangan banyak hal setelah gempa 15 Januari 2021, lalu. Harta benda, orang terkasih, hingga kepercayaan diri terenggut. Saat berusaha memulihkan diri, bencana datang lagi. Menyapu secercah harapan yang baru saja tumbuh kembali.

Oleh: Adhe Junaedi Sholat, (Malunda)

Boleh jadi, tak ada yang sekuat dan setegar warga Kecamatan Malunda, Majene. Kata-kata itulah yang terus tersahut dalam kepala penulis ketika berkunjung dan melihat langsung kondisi warga pasca diterjang banjir bandang, Sabtu 28 Mei 2022.

Setiap tatapan mata warga yang penulis temui, seakan tersirat sebuah arti kehidupan. Bagaimana tidak, hari-hari mereka dikepung dua ancaman bencana sekaligus. Bencana geologi semacam gempa dan bencana ekologis seperti banjir bandang dan tanah longsor. Keduanya sudah terjadi dan menyisakan pilu berkepanjangan.

Tak semua orang bisa bertahan di situasi seperti itu. Pada kasus lain ada banyak orang memilih meninggalkan kampung halamannya karena bencana. Namun, warga Malunda memilih tidak. Mereka adalah representasi bagaimana rasa cinta kepada tanah kelahiran tak akan pernah habis. Tinggal bagaimana memaksimalkan mitigasi untuk mengurangi risiko.

Persis yang dilakukan Kahar Calla. Warga Desa Bambangan Kecamatan Malunda. Desa yang berjarak sekira 6 kilometer (Km) dari Kantor Camat Malunda itu, menjadi desa dengan kondisi terparah saat banjir bandang, Kamis 26 Mei, sore.

Kahar sadar betul bagaimana mitigasi mampu menolongnya bersama keluarga saat banjir. Meski sebagian perabotan rumahnya terbawa arus banjir, paling tidak, dirinya bersama keluarga selamat dari kejamnya hantaman banjir terparah ini.

Kepada penulis, ia bercerita saat air Sungai Bambangan mulai meluap. Kahar bersama keluarga langsung berlari ke dataran lebih tinggi. Dengan kaki gemetar ia menyaksikan debit air sungai terus membesar melampaui kapasitas sungai.

“Sangat cepat prosesnya. Itu hujannya mulai jam 2 siang. Tapi sekitar jam 4 sore itu, air sungai mulai deras sampai masuk ke rumah. Kalau dihitung ketinggian airnya sekitar 6 sampai 7 meter dari dasar sungai. Di dalam rumah itu satu meter tinggi air dari lantai,” kata Kahar, sambil menunjukkan Sungai Bambangan yang meluap, Sabtu 28 Mei.

Luapan sungai lantas membawa debris atau serpihan-serpihan batang pohon dan lumpur. Kemudian menyapu lahan perkebunan, perabotan rumah hingga ternak-ternak warga. Termasuk merusak Jembatan Bambangan. Jembatan utama penghubung antar dusun di desa itu.

Bersyukur, kata Kahar, tidak ada korban jiwa. Tanpa komando, warga kompak menyelamatkan diri ke daerah ketinggian tanpa membawa apa-apa. Sesekali warga mengecek rumahnya yang terendam. Kahar juga menyaksikan peralatan dapur rumah warga terbawa air.

“Tidak main-main itu derasnya air. Hanyut semua peralatan dapur. Panci, wajan dan semuanya. Begitu juga ternak-ternak, ayam, kambing. Sapi saja hanyut. Motor juga ada yang hanyut,” tutur Kahar.

Air mulai surut pada malam hari. Di saat yang sama, warga kemudian kembali bergegas ke rumah masing-masing. Mereka mengumpulkan harta benda apa saja yang masih bisa diselamatkan.

Warga lain yang tak terdampak lantas mengulurkan tangan. Meminta warga yang rumahnya dipenuhi lumpur agar menginap di rumah mereka yang aman dari banjir. Potret semacam itu lagi-lagi mengingatkan penulis bahwa semangat gotong royong serta sikap saling menolong masih sangat kental dan menjadi ciri khas pedesaan.

Di sela-sela percakapan kemarin, Kahar juga meratapi nasibnya yang tertimpa dua bencana sekaligus hanya selang setahun. Tahun lalu gempa bumi dan tahun ini banjir bandang. Pria yang bekerja sebagai petani itu, bersedih. Sebab, rumahnya yang rusak akibat gempa bumi dan belum mendapat bantuan perbaikan rumah, kini harus menanggung banjir bandang lagi.

Sepengetahuan Kahar, masih banyak warga di Desa Bambangan dan Desa Mekkatta yang belum menerima bantuan rumah rusak akibat gempa, meski Pemkab Majene telah melakukan pendataan.

“Kalau rumah di Desa Bambangan, sudah ada separuh. Kalau khusus saya belum ada. Rumah saya itu tergolong rusak sedang. Belum beres penanganan gempa, banjir bandang datang,” ungkap Kahar.

Warga lain, Abdul Latif mengaku, air yang masuk ke rumahnya hampir mencapai meteran listrik. Kalau diperkirakan tinggi air mencapai dua meter. Awalnya penulis tidak begitu percaya, namun saat Abdul Latif menunjukkan bekas air yang melekat di tembok rumahnya, penulis langsung terdiam sejenak. Tak bisa membayangkan kelamnya saat itu.

“Saya mengungsi di atas di daerah perbukitan. Ada rumah anak saya di sana. Barang-barang semua terendam. Tidak ada yang bisa diselamatkan,” tuturnya.
Tidak lama penulis berada di Desa Bambangan, Bupati Majene, Andi Syukri Tammalele tiba di Desa Bambangan, tepatnya di lokasi amblesnya Jembatan Bambangan. Bersama rombongannya, orang nomor satu di Majene, itu, melihat-lihat kondisi jembatan.

Di hadapan warga, Andi Syukri berjanji bakal segera mengerahkan bantuan. Memenuhi kebutuhan pokok warga dan memperbaiki jembatan tersebut. Termasuk membuka titik-titik longsor di desa itu. “Dalam waktu dua atau tiga hari kita bisa buka akses yang tertutup longsor,” tandasnya. (***)

  • Bagikan