MUDIK. Tradisi pulang kampung merayakan lebaran Idul Fitri bersama keluarga. Pemudik ramai setiap menjelang akhir bulan ramadan.
Oleh: M Danial
Dua tahun terakhir, 2020 dan 2021, mudik sepi lantaran pandemi Covid-19. Pemerintah memberlakukan larangan mudik untuk mencegah meluasnya penyebaran virus corona. Idul Fitri 1443 H, merupakan tahun pertama dibolehkan mudik di masa pandemi corona.
Tradisi mudik merupakan rutinitas masyarakat Indonesia setiap tahun. Mudik melibatkan berbagai kalangan. Mulai pekerja kasar, mahasiswa dan pelajar, sampai pekerja kantoran. Semua rela antre, berdesak-desakan lantaran kemacetan lalu lintas pemudik. Demi pulang kampung, berkumpul dengan keluarga, bertemu kerabat dan sanak famili. Bagi sebagian orang, mudik menjadi kesempatan menunjukan hasil kerja di kota.
Mudik sudah menjadi aktifitas sosial berskala nasional yang tidak hanya melibatkan individu pemudik. Menjadi agenda rutin juga pemerintah untuk mengurusi kelancaran dan keamanan jutaan pemudik.
Mengurusi juga arus balik, yaitu saat pemudik kembali ke kota. Pemerintah harus kerja keras juga untuk mengantisipasi jumlah pemudik bertambah, lantaran pemudik mengikutsertakan keluarga atau kerabatnya menjadi kaum urban baru di kota. Karena “terbius” keberhasilan kerabatnya mengadu nasib di kota.
Istilah mudik mulai dikenal sekitar tahun 1950-an. Saat itu, Jakarta sebagai ibukota RI mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan berbagai kemajuan dibanding kota-kota lain di Indonesia. Jakarta menjadi kota impian banyak orang untuk mengadu nasib. Fenomena itu berangsur meluas ke berbagai kota yang juga menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Akhirnya mudik menjadi tradisi. Lebaran seakan tidak afdal tanpa mudik.
Dikutip dari Kompas.com, Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno, menyebut mudik sudah menjadi kebiasaan sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam.
Alkisah, dahulu wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit hingga ke Srilanka dan Semenanjung Malaya. Ketika itu, Kerajaan Majapahit menempatkan pejabat di titik-titik kekuasaannya. Saat para pejabat itu kembali ke pusat kerajaan untuk menghadap raja, memanfaatkan kesempatan mengunjungi kampung halamannya.
“Selain berawal dari Majapahit, mudik juga dilakukan para pejabat dari Mataram Islam yang bertugas di daerah kekuasaannya. Mereka kembali menghadap Raja setiap menjelang hari raya idul fitri,” kata Silverio.
Sejarawan Muhammad Yuanda Zara, dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, mengatakan tradisi mudik terjadi sejak awal kemerdekaan Indonesia. Ketika banyak masyarakat yang merantau ke Jakarta sebagai ibukota negara. Beberapa tahun di Jakarta, para pendatang yang merupakan kaum urban itu rindu kampung halamannya. Mereka lalu pulang kampung secara massal. Sejak itulah awal fenomena mudik.
Sepintas, mudik dan pulang kampung adalah sama. Yang beda penyebutannya. Namun, menurut Guru Besar Linguistik Universitas Negeri Surabaya, Prof. Dr. Kisyani Laksono, mudik dan pulang kampung berbeda dari segi sifat. Katanya, mudik hanya terjadi pada peringatan hari raya. Sifatnya massal. Sedangkan pulang kampung bersifat individual.
Terlepas dari itu, patut disyukuri kembalinya kesempatan bertemu keluarga, merajut silaturahmi, melepas kerinduan dengan kerabat, setelah dua tahun terhambat corona. Selamat menyambut Idul Fitri 1443 H. (***)