JUTAAN, atau mungkin puluhan juta pasang mata penonton menyaksikan secara langsung atau melalui layar kaca. Aksi Rara Isti Wulandari berkeliling sirkuit MotoGP di bawah guyuran hujan deras di Mandalika.
OLEH: M DANIAL
Ia membawa sebuah mangkuk berwarna emas berisi sesajen beserta peralatan semacam tongkat kecil. Yang diayun-ayunkan ke udara dan diputar-putar sambil melafalkan mantra sebagai pawang hujan. Hujan berangsur reda. Para pebalap pun memasuki lintasan sirkuit. Sontak viral di media sosial, menjadi perhatian media nasional dan internasional. Hampir menenggelamkan berita MotoGP.
Ritual yang dilakukan perempuan separuh baya itu merayu langit kelabu, mendapat reaksi dari berbagai kalangan, termasuk para ulama. Bermunculan beragam komentar mengenai pawang hujan. Praktik seperti itu sudah lama dikenal di berbagai daerah, yang dilakukan dengan cara berbeda-beda. Ada yang menyebutnya sebagai kearifan lokal nusantara.
Pawang hujan merupakan sebutan untuk seseorang yang dipercaya sebagai “orang pintar” dan punya “kelebihan mengendalikan cuaca dengan cara memindahkan awan penyebab hujan”. Jasa mereka biasa digunakan untuk pelaksanaan barbagai kegiatan atau acara keramaian. Seperti pesta pernikahan atau hajatan, pertandingan olahraga, maupun kegiatan resmi pemerintah. Ritual pawang Tujuannya agar tidak turun hujan dipercaya sebagai cara untuk menolak atau memindahkan hujan.
Keberadaan pawang hujan merupakan fakta yang sudah lama dikenal di nusantara. Kepercayaan bahwa ada orang yang memiliki kelebihan tertentu. Namun, menjadi pertanyaan adalah kepastian sejak kapan dikenal istilah pawang hujan, praktik yang dilakukan, dan membedakan mana yang lebih ampuh. Terhadap pertanyaan tersebut, perlu penelusuran tradisi pawang hujan di setiap daerah.
Dikutip dari kumparanNEWS, dalam cerita rakyat Betawi pada zaman dahulu diyakini tentang sepasang dewa-dewi yang diturunkan ke bumi untuk memerbaiki kondisi alam yang tidak seimbang. Dikenal sebagai nenek dan aki Bontot yang mengajari manusia mengelola bumi, mengenali tanda-tanda alam, serta memperkenalkan alam gaib.
Menurut budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra, cerita yang dituturkan secara turun-temurun itu tetap lestari di tengah masyarakat Betawi. Kisah nenek dan aki Bontot juga menjadi dasar eksistensi dari profesi unik dalam masyarakat Betawi yang dikenal dengan pawang hujan. Dalam praktiknya, pawang hujan tidak berarti menolak atau menghentikan hujan. Mereka hanya memindahkan awan mendung dari satu tempat ke tempat lain.