Tanah Air

  • Bagikan

SATU persatu gubernur se-Indonesia menyerahkan tanah dan air yang dibawa dari daerah masing-masing kepada Presiden Joko Widodo, di titik nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

OLEH: M DANIAL

Prosesi itu disebut kendi nusantara, ditayangkan melalui live streaming YouTobe Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden, Senin 14 Maret pagi.

Tanah dan air yang diserahkan para gubernur, langsung dituang ke dalam sebuah kendi berukuran besar oleh Presiden Jokowi, sebagai simbol penyatuan seluruh provinsi di Indonesia ke dalam IKN Nusantara.

Para gubernur datang ke IKN Nusantara membawa tanah dua kilogram dan satu liter air dari daerah masing-masing. “Kita adalah negara nusantara dari ujung Aceh sampai Papua dan kearifan lokal itu berbeda-beda, dituangkan di dalam simbolis tanah dan simbolis air dijadikan satu menjadi kalimat Tanah Air,” jelas Kepala Sekretariat Presiden, Heru Budi Hartono (Kompas.com 14 Maret 2022).

Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, tanah dan air yang dibawa para gubernur sudah mewakili seluruh suku dan agama di masing-masing provinsi. Menurut Mahfud, penyatuan tanah dan air dari seluruh provinsi yang disatukan di IKN Nusantara, akan menjadi cerita menarik di masa yang akan datang.

“Tidak usah 100 tahun, mungkin 30 tahun itu akan menjadi cerita yang sangat menarik. Bagaimana kita berupaya melalui adat kenegaraan dan keagamaan, digabung di situ untuk masuk ke ibu kota baru.”

Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, tanah air adalah istilah yang digunakan bangsa Indonesia untuk menyebut seluruh bumi Indonesia yang terdiri dari darat dan lautan. Istilah ini didasarkan pada konsep wawasan nusantara yang terbentuk dari kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Yang membedakan Indonesia dengan bangsa lain yang sering menyebut wilayahnya dengan motherland atau fatherland. Bumi Indonesia kerap juga disebut dengan Ibu Pertiwi atau Nusantara.

Tetiba saya teringat cerita tentang anak muda di sebuah desa, beberapa tahun lalu. Tentang tanah air. Saat desa itu kedatangan tim dakwah ramadan pada zaman orde baru yang gencar mengunjungi mesjid dan musalah sampai di pelosok desa.

Dikenal dengan nama tim safari Ramadhan, yang dibentuk untuk menyebarluaskan pesan-pesan pembangunan melalui ceramah ramadan. Seperti program Keluarga Berencana (KB), bimas-inmas untuk meningkatkan produksi pertanian dan program lain.

Rombongan tim safari ramadan tiba di desa itu, saat hujan deras baru saja usai. Malah masih rintik-rintik. Setiap usai hujan, sebagian pekarangan mesjid yang sebagian berupa tanah menjadi becek. Kebiasaan pemuda setempat, ngobrol di sekitar tempat wudhu sambil menunggu waktu salat dimulai. Alasan para anak muda itu, mendahulukan para ‘senior’ mengambil air wudhu. Apalagi, saat itu kampung sedang kedatangan tamu tim safari ramadan.

Karena tempat wudhu terbatas, beberapa anggota rombongan harus antre. Tetiba, seorang anak muda menyapa temannya dengan bahasa yang sudah saling pahami. Ia mengingatkan agar membersihkan kakinya dengan baik sebelum masuk ke dalam mesjid. Jangan sampai lumpur masih menempel, akan mengotori lantai mesjid.

“Hei kawan, hati-hati. Jangan selalu bawa tanah air ke dalam mesjid,” kata si pemuda kepada temannya. Yang dia maksudkan tanah air adalah tanah berair karena bercampur lumpur. Tanah berlumpur.

Namun, candaan sesama pemuda itu menimbulkan ketersinggungan anggota tim safari ramadan. Dianggapnya sindiran. Jangan bawa-bawa tanah air masuk ke mesjid, ditafsirkan ceramah harus fokus mengenai agama. Bukan soal program pemerintah dan pesan-pesan pembangunan yang merupakan misi tim safari ramadan. Karena salah pengertian, tim safari ramadan harus sangat berhati-hati dan membatasi diri menyampaikan ceramah selain masalah agama. (***)

  • Bagikan

Exit mobile version