Generasi Lupus

  • Bagikan
*Sebuah Obituari untuk Hilman Hariwijaya

NGOMONGIN cerita-cerita Lupus, sebetulnya seperti menghadapi potongan-potongan hidup. Slice of life (kata bookish zaman sekarang) versi remaja yang hidupnya tak berat-berat amat, juga tidak cemerlang-cemerlang amat.

OLEH: EKA KURNIAWAN, Penulis dan Novelis

Coba baca Tangkaplah Daku, Kau Kujitak!, cerita pertama yang mengawali segala demam Lupus sejak 1986. Memberi kegilaan remaja-remaja dengan permen karet dan rambut jambul, meski yang ini barangkali hanya terjadi untuk mereka yang tumbuh pada akhir 80-an hingga 90-an.

“Cerita” ternyata bisa cuma urusan naik bus kota ke sekolah. Ribet bawa bermacam contoh tanaman untuk praktikum biologi. Bertemu cewek dari sekolah lain, titip barang bawaan, terus turun dan lupa dengan barang titipannya. Cerita ditutup dengan panggilan si cewek, yang rela turun, tapi minta dikejar-kejar.

Ia diceritakan narator yang sering mengejek, membantah, juga meragukan diri atau tokoh yang diceritakannya (“dia lumayan top, lho… di antara orang seisi rumahnya”). Itu memberi efek akrab, riang, dan jenaka.

Tapi, bagi saya yang pertama membacanya sebagai bocah 12 tahun di sebuah kota kecil, cerita itu menghancurkan imaji saya tentang kehidupan remaja Jakarta yang gemerlap. Yang berkasih-kasihan di mobil. Yang cantik dan ganteng, sebagaimana sekilas-sekejap terlihat di film-film remaja maupun profil di majalah masa itu.

Di belakang karakter yang menjadi idola justru karena kemediokerannya (dalam asmara, kepintaran, kegantengan, kekayaan), tapi disayang karena kegokilan, kemandirian, dan setia kawannya, ada Hilman Hariwijaya, meski ia lebih suka menulis namanya hanya dengan “Hilman”.

Lahir pada 1964, Hilman merupakan salah satu dari generasi “ledakan” (kita sebut saja begitu) penulis remaja. Meskipun majalah-majalah remaja masa itu seperti Gadis, Aneka Yess!, Anita Cemerlang, Mode, dan Kawanku ikut memberi ruang, saya rasa Hai dan Arswendo Atmowiloto, sang pemimpin redaksi, merupakan pusat puting beliungnya.

Generasi itu melahirkan Gola Gong, Adra P. Daniel, Boim, Arini Suryokusumo, Gusur, Lutfie, Bubin Lantang, Zara Zettira ZR, dan lain-lain. Majalah-majalah remaja merupakan medan pencarian bakat penulis, yang kemudian menembus industri buku arus utama. Serial Lupus sejak era itu dicetak jutaan eksemplar.

Apa yang membuat Lupus mudah diterima, barangkali, memang karakter “biasa-biasanya” itu. Dalam beberapa hal, ia sebetulnya tak layak jadi idola: suka menempelkan sisa permen karet di kursi bus (konon penerbitnya pernah menerima protes urusan pengaruh buruk yang ini) atau suka merayu cewek di tempat umum.

Meskipun begitu, ia memberikan ruang bagi remaja kere yang tinggal di rumah reyot, memberikan makna bagi remaja yang susah punya pacar, memotret sekolah dan keluarga yang jauh dari elite. Semua itu tidak dibuat romantik, tidak jadi bahan bakar segala amarah, malahan ditampilkan dengan ringan dan riang.

Pada akhirnya, ia juga memberikan jalan bagi penulis-penulis remaja lain mengeksplorasi banyak hal. Kita bertemu remaja Roy karangan Gola Gong dengan luapan hasrat masa muda untuk bertualang dan melihat dunia. Ia membawa kita melihat kota-kota di Indonesia yang bukan melulu Jakarta.

Kita bertemu anak-anak Mama Alin dalam serial karya Bubin Lantang dengan kisah tentang kekerasan dan perundungan di kalangan remaja. Hilman tak hanya berhenti di Lupus. Ia juga memberi anak-anak bacaan mereka sendiri dengan Lupus Kecil, di mana misalnya, kisah tentang bocah disunat menjadi sesuatu yang lucu dan mengafirmasi pengalaman banyak anak lelaki di Indonesia.

Ia melahirkan beragam serial lain. Di antaranya, Olga dan Vanya. Saya sendiri sering teringat novela karyanya, Cafe Blue. Tak hanya menulis, ia juga pernah memerankan Lupus (dirinya sendiri?) di film, pernah merekam lagu dengan teman-temannya (yang juga teman-teman Lupus).

Sekitar 17 tahun lalu, ketika menjadi buruh untuk industri sinetron, saya beberapa kali bertemu dengan Hilman. Sejak kelahiran TV swasta, meskipun tak sepenuhnya meninggalkan kariernya sebagai penulis buku, Hilman memang lebih banyak menulis naskah sinetron.

Dalam satu pertemuan, saya sempat bertanya, “Pernah enggak pengin nulis novel yang bukan untuk remaja dan anak-anak?” Ia menjawab, ingin dan hendak melakukannya. Saya tak tahu apakah ia benar-benar pernah mewujudkan keinginannya tersebut.

Kadang saya berpikir, menjadi penulis remaja sukses seperti dia (juga penulis-penulis remaja lainnya) serupa sejenis kutukan. Para remaja pembacanya perlahan tumbuh, jika tak berhenti membaca, mereka membaca hal-hal baru mengikuti usianya. Sementara, pembaca remaja yang lahir kemudian mungkin akan menemukan penulis remaja yang membawa suara generasi mereka sendiri.

Rabu, 9 Maret 2022, Hilman meninggalkan kita semua. Sang penulis memang telah tutup usia, tapi Lupus dan karya-karyanya tak hanya jadi catatan budaya populer suatu masa. Ia benih yang ditanam di imajinasi banyak remaja.

Ia ikut tumbuh dan menua bersama cara kita membacanya, yang juga tumbuh dan menua. Dengan cara itulah, sastra remaja mestinya dilihat. Ia akan menjadi daging, darah, dan tulang bagi banyak karya, sekarang dan kelak. (jpg)

  • Bagikan

Exit mobile version