Saya jadi berandai-andai, jika anggaran sebesar itu diperuntukkan bagi UMKM, tentu akan sangat menolong banyak pelaku UMKM dalam mengembangkan bisnisnya. Termasuk para pelaku usaha minyak Mandar.
Tidak perlu dibagi-bagikan ke mereka. Cukup kerjasama dengan bank, dana tersebut dijadikan sebagai penjaminan bagi UMKM yang ingin mengakses modal namun terkendala tidak punya penjaminan. Maka akan banyak UMKM yang tertolong dalam hal permodalan.
Makanya ketika salah satu teman memposting di akun Facebooknya, saat dilantik menjadi salah satu anggota dewan pengawas BUMD, saya tidak terlalu merasa istimewa. Bukan karena tidak senang akan kesusksesannya. Namun konsep BUMD-nya yang sejak dulu saya tidak setuju.
Bagi saya, bisnis adalah bisnis. Maka bagaimana mungkin pemerintah selaku pembuat regulasi ikut berbisnis. Peran pemerintah adalah menciptakan iklim usaha yang kondusif di daerah, agar UMKM dapat tumbuh berkembang.
Lihat saja kondisi pengelolaan BUMD saat ini, masih belum optimal, karena pengelolaannya yang masih terjebak dalam pola kerja birokrasi daripada sebagai perusahaan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan. Makanya tidak heran jika pelayanan yang diberikan pada pelanggan belum maksimal. Bahkan cenderung mengarah pada praktek mismanagement yang menyebabkan inefisiensi dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan BUMD.
Dari data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) menyumbang delapan persen pejabatnya yang melakukan tindak pidana korupsi. Berdasarkan data penanganan perkara yang ditangani KPK pada periode 2004 hingga Maret 2021 tercatat 93 dari 1.145 tersangka atau 8,12 persen merupakan jajaran pejabat BUMD (idxchannel.com, 7 November 2021).
Kini pemerintah melalui undang-undang Cipta Kerja bahkan telah mengembangkan lagi yang namanya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai salah perusahaan plat merah di tingkat desa, bahkan sudah berbadan hukum. Semoga saja keberadaannya tidak menggusur para pelaku UMKM di desa. (***)