JAKARTA – Wacana perpanjang masa jabatan Presiden dan penundaan Pemilu 2024 dikemukakan oleh tiga Pimpinan Partai Politik (Parpol) pendukung pemerintah. Yakini PKB, Golkar dan Partai Amanat Nasional atau PAN.
Merespon itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menilai, penundaan Pemilu adalah perampasan hak rakyat. “Penundaan Pemilu Merampas Hak Rakyat,” ujar Hamdan Zoelva lewat keterangan tertulis, Sabtu 26 Februari 2022.
Hamdan Zoelva menjelaskan, pasal 22E UUD 1945 Pemilu dilaksanakan sekali dalam 5 tahun. Kalau ditunda, harus mengubah ketentuan tersebut, berdasarkan mekanisme Pasal 37 UUD 1945.
Dia menilai, tidak ada alasan moral, etik dan demokrasi menunda pemilu yang telah dijadwalkan berlangsung 5 tahun sekali. “Bahkan dapat dikatakan merampas hak rakyat memilih pemimpinnya lima tahun sekali,” katanya.
Dia mengatakan, jika saja dipaksakan dan kekuatan mayoritas MPR setuju tunda Pemilu, maka siapa nanti yang akan jadi Presiden, wakil presiden, para menteri dan anggota-anggota kabinet. Sebab, masa jabatan mereka akan berakhir di 2024.
“UUD 1945 tidak mengenal pejabat presiden. Hanya menurut Pasal 8 UUD 1945 jika presiden dan wapres, mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan dilakukan oleh Mendagri, Menlu dan Menhan,” katanya.
Tetapi itu pun, kata Zoelva, tetap jadi problem, karena jabatan Mendagri, Menlu dan Menhan berakhirnya seiring berakhirnya masa jabatan presiden dan wapres yang mengangkat mereka
Dia melanjutkan, berdasarkan Pasal 8 UUD 1945 MPR dapat saja mengangkat presiden dan wapres menggantikan presiden-wapres yang berhenti atau diberhentikan, sampai terpilihnya presiden dan wapres hasil pemilu.
MPR memilih dan menetapkan salah satu dari dua pasangan calon presiden dan wapres yang diusulkan parpol atau gabungan parpol yang pasangan capresnya memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu.
“Dalam kondisi seperti ini siapa saja dapat diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol menjadi pasangan calon presiden dan wapres, tidak harus presiden yang sedang menjabat,” jelasnya.
“Tetapi masalahnya tidak berhenti di situ, siapa yang memperpanjang masa jabatan anggota MPR (DPR-DPD)dan DPRD? Padahal semuanya harus berakhir pada 2024, karena mereka mendapat mandat terpilih melalui pemilu,” sambung dia.
Untuk keperluan tersebut, lanjut Zoelva, ketentuan UUD mengenai anggota MPR harus diubah, yaitu anggota MPR tanpa melalui pemilu dan dapat diperpanjang.
Namun yang jadi persoalan lain, adalah siapa yang perpanjang. Jika dipaksakan dapat dilakukan oleh presiden atas usul KPU. Tetapi sekali lagi UUD terkait anggota MPR harus diubah dulu.
“Maka untuk memuluskan skenario penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan, harus ada Sidang Istimewa MPR mengubah UUD.
“SI MPR memberhentikan presiden-wapres dan mengangkat Presiden dan Wapres sebelum masa jabatan mereka berakhir,” jelasnya.
Dia berujar, pertanyaannya lain yang kembali muncul adalah apakah mungkin presiden diangkat kembali sebelum mereka berhenti secara bersamaan? Karena MPR hanya berwenang mengangkat presiden dan wapres jika presiden dan wapres secara bersamaan berhenti. “Maka jalan keluarnya, berhentikan dulu presiden dan wapres sebelum masa jabatannya berakhir.” Katanya.
Hamdan Zoelva berujar, merujuk ketentuan UUD 1945 tidak ada dasarnya MPR begitu saja memberhentikan presiden dan wapres tanpa alasan. Kecuali mereka berhenti bersamaan karena mengundurkan diri, berhenti atau diberhentikan karena melakukan pelanggaran hukum menurut Pasal 7B UUD 1945.
“Jadi persoalan begitu sangat rumit, maka jangan pikirkan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan itu, karena hanya cari-cari masalah yang menguras energi bangsa yang tidak perlu. Jalankan yang normal saja, negara aman-aman saja” pungkasnya. (fin)